BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, yang mengakibatkan produktivitas ternak masih rendah. Salah satu kendala tersebut adalah masih banyaknya gangguan reproduksi menuju kemajiran pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan rendah dan kelambanan perkembangan populasi ternak. Dengan demikian perlu adanya pengelolaan ternak yang baik agar daya reproduksi meningkat sehingga menghasilkan efisiensi reproduksi tinggi yang diikuti dengan produktivitas ternak yang tinggi pula.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Bahan ajar ini membahas tentang pengelolaan reproduksi pada ternak sapi.
C. MANFAAT BAHAN AJAR
Dengan mempelajari bahan ajar ini diharapkan peserta dapat memahami tentang pengelolaan reproduksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi dan produktivitas ternak
D. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kompetensi Dasar
Setelah menyelesaikan bahan ajar ini peserta diharapkan dapat memahami tentang pengelolaan reproduksi untuk perbaikan produktivitas ternak
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bahan ajar ini secara spesifik peserta dapat menjelaskan :
a. Anatomi Reproduksi Sapi Betina
b. Siklus Berahi
c. Kebuntingan
d. Kelahiran
e. Gangguan reproduksi dan penanganannya
E. MATERI POKOK
A. PENGELOLAAN REPRODUKSI
BAB II
PENGELOLAAN REPRODUKSI
A. PENDAHULUAN
Reproduksi merupakan proses yang majemuk pada setiap individu ternak. Reproduksi merupakan proses perkembangan suatu makhluk hidup yang dimulai sejak bersatunya sel telur dan sel mani menjadi individu baru yang disebut zigot yang disusul dengan kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran.
Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan yang baru, tetapi ia juga menyediakan tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru .
Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih banyak menghadapi kendala yang mengakibatkan produktivitas ternak yang rendah. Hal ini ditengarai dengan banyaknya laporan dari peternak mengenai kasus gangguan reproduksi yang mengakibatkan kerugian yang besar terhadap pemilik ternak.
Setiap induk ternak yang dimiliki oleh peternak mempunyai tiga kemungkinan status reproduksi, yaitu :
1) Berada pada kondisi kesuburan yang normal
2) Kondisi kemajiran ringan atau infertile
3) Kondisi kemajiran yang tetap (steril)
Ketiga status tersebut diatas tergantung pada baik atau tidaknya tingkat pengelolaan reproduksi pada ternak. Bila suatu kawasan peternakan banyak menghadapi kasus gangguan reproduksi, ada beberapa parameter yang dapat dipakai sebagai acuan yang menyatakan bahwa wilayah tersebut terdapat gangguan reproduksi :
1. Jarak antara beranak lebih dari 400 hari
2. Jarak antara melahirkan sampai bunting kembali melebihi 120 hari
3. Angka kebuntingan kurang dari 50 %
4. Rata rata jumlah perkawinan perkebuntingan lebih besar dari dua
5. Jumlah induk sapi yang membutuhkan lebih dari tiga kali IB untuk terjadinya kebuntingan melebihi 30 %.
Melihat betapa pentingnya proses reproduksi bagi suatu usaha peternakan bila mengingat bahwa tanpa adanya reproduksi, mustahil produksi ternak dapat diharapakan menjadi maksimal. Oleh sebab itu pengelolaan reproduksi merupakan bagian yang amat penting dalam suatu usaha peternakan.
Faktor pengelolaan reproduksi meliputi :
1. Pemberian pakan yang berkualitas dan cukup
2. Lingkungan serasi yang mendukung perkembangan ternak
3. Tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular kelamin
4. Tidak menderita kelainan anatomi kelamin yang bersifat menurun
5. Tidak menderita gangguan keseimbangan hormone khususnya hormone reproduksi
6. Sanitasi kandang yang baik.
Untuk mendukung keberhasilan pengelolaan reproduksi perlu juga dilaksanakan program kesehatan reproduksi meliputi :
1. Meningkatkan keterampilan dan kesdaran beternak bagi para peternak
2. Pemeriksaan secara tetap tiap bulan pada ternak betina oleh petugas kesehatan reproduksi
3. Penilaian terhadap prestasi reproduksi induk.
4. Pelaksanaan perubahan pengelolaan reproduksi menuju keuntungan yang lebih baik, yang meliputi :
a. Penyediaan ransum pakan untuk induk yang sedang bunting dan laktasi
b. Keserasian kondisi lingkungan untuk pertumbuhan ternak
c. Deteksi Berahi yang tepat
d. Waktu tepat kawin
e. Pengelolaan yang tepat terhadap uterus pasca melahirkan.
B. ANATOMI REPRODUKSI BETINA
Organ reproduksi pada sapi betina terdiri dari organ genitalia interna (ovarium,oviduk,uterus,cervix uteri dan vagina) dan organ genitalia eksterna (vestibulum dan vulva). Ovarium merupakan organ reproduksi primer yang menghasilkan ova dan hormon-hormon kelamin betina. Sedangkan oviduk,uterus,cervix uteri,vagina dan vulva merupakan organ reproduksi sekunder yang berfungsi menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina,memberi makan dan melahirkan individu baru.
OVARIUM
Berbeda dengan testis, ovarium tertinggal di dalam cavum abdominalis. Ia mempunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina,estrogen dan progesteron. Ovarium sapi dan domba berbentuk oval.
Pada sapi ukuran ovarium bervariasi dengan panjang 1,3-5,0 cm, lebar 1,3-3,2 cm, dan tebal 0,6-1,9 cm. Ovarium kanan umumnya lebih besar daripada ovarium kiri, karena secara fisiologik dia lebih aktif. Berat ovarium juga bervariasi antara 10 sampai 20 gram.
OVIDUK (Tuba Fallopii)
Oviduk atau Tuba Fallopii merupakan saluran kelamin paling anterior, kecil, berliku-liku dan terasa keras seperti kawat terutama pada pangkalnya. Pada sapi panjangnya mencapai 20-30 cm dan diameternya 1,5-3,0 cm. Fungsi oviduk adalah menerima atau menangkap sel telur yang diovulasikan.
UTERUS
Uterus merupakan suatu struktur saluran muskuler yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi, nutrisi dan perlindungan foetus, dan stadium permulaan ekspulsi foetus pada waktu kelahiran. Uterus teridiri dari cornua, corpus, dan cervix. Pada sapi, domba dan kuda mempunyai uterus jenis uterus bipartitus, terdapat suatu dinding penyekat (septum) yang memisahkan kedua cornua dan corpus uteri yang cukup panjang. Cornu uteri pada sapi dan domba berlekuk seperti tanduk domba jantan. Pada sapi dara setiap cornu uteri membentuk satu putaran spiral lengkap, sedangkan pada sapi-sapi pluripara (sudah sering beranak) spiral tersebut sering hanya mencapai setengah putaran.
Uterus mempunyai sejumlah fungsi penting. Pada waktu perkawinan, kerja kontraksi uterus mempermudah pengangkutan sperma ke oviduk. Sebelum implantasi, ia mengandung cairan uterus yang menjadi medium bersifat suspensi bagi blastocyt,dan sesudah implantasi uterus menjadi tempat pembentukan placenta dan perkembangan foetus.
CERVIX UTERI
Cervix atau leher uterus merupakan suatu otot sphincter tubuler yang sangat kuat dan terdapat antara vagina dan uterus. Dindingnya lebih keras, lebih tebal dan lebih kaku daripada dinding-dinding uterus atau vagina, dan dinding cervix ditandai oleh berbagai penonjolan-penonjolan. Pada ruminansia penonjolan-penonjolan ini terdapat dalam bentuk lereng-lereng transversal dan saling menyilang, disebut cincin-cincin annuler. Cincin-cincin ini sangat nyata pada sapi (biasanya 4 buah) dan domba, yang dapat menutup rapat cervix secara sempurna. Cervix uteri berfungsi sebagai saluran yang memudahkan (dengan mukus cervixnya) sperma menuju lumen uterus, berperan menyeleksi sel sperma yang viable dari sel sperma yang non viable dan cacat/rusak,menutup dan menjaga kondisi uterus selama masa kebuntingan.
ORGAN GENITALIA EKSTERNA
Alat kelamin luar terbagi atas vestibulum dan vulva. Vulva terdiri atas labia majora,labia minora,commisura dorsalis dan ventralis serta clitoris.
Vestibulum memiliki beberapa otot sirkuler atau seperti sphincter yang menutup saluran kelamin terhadap dunia luar. Selama partus vestibulum berfungsi sebagai tempat tumpuan pertautan bagi seluruh saluran kelamin yang berkontraksi sewaktu mengeluarkan foetus
C. SIKLUS BERAHI
Produktifitas ternak tergantung langsunng maupun tidak langsung pada kemampuan reproduksinya. Ternak dengan kecepatan reproduksi tinggi, disertai seleksi yang baik dalam perkawinannya pasti akan meningkatkan produksi hasil ternaknya.
Target manajemen reproduksi pada suatu kelompok ternak :
1. mendapatkan pedet yang sehat dari satu kelahiran pertahun
2. meningkatkan mutu genetic pedet
3. waktu laktasi 305 hari
Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi :
1. Penyembuhan uterus normal selama 6 minggu
2. Penampakan tanda birahi dan recover ovulasi
3. Deteksi birahi secara tepat dan peningkatan kebuntingan setelah IB
4. Semen dengan kualitas baik di IBkan pada 12 – 18 jam sebelum ovulasi.
1. Pubertas
Perkembangan dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan. Dalam kondisi pemberian pakan yang baik pubertas pada sapi betina dapat terjadi pada umur 5 – 15 bulan. Berat badan dan atau besar tubuh lebih penting daripada umur, sebab sapi yang diberi pakan rendah dua kali lebih tua daripada umur yang dicapai oleh sapi dengan tingkatan yang tinggi. Dimana bobot badan yang ideal untuk pubertas berkisar 227 – 272 kg pada umur rata – rata 15 bulan.
Sapi mencapai dewasa kelamin sebelum dewasa tubuh tercapai. Keterangan ini memberi petunjuk agar tidak mengawinkan sapi betina pada waktu munculnya tanda-tanda pubertas yang pertama, Karen ajika mengawinkan terlalu cepat, maka sapi akan bunting dengan kondisi badan masih dalam proses pertumbuhan, maka tubuhnya harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dirinya dan anak dalam rahimnya.
Umur Pubertas (bulan)
|
Bangsa
|
Betina
|
Jantan
|
Kambing – Domba
|
7-10
|
4-6
|
Babi
|
4-7
|
4-8
|
Sapi
|
8-11
|
10-12
|
Sapi Brahman
|
15-18
|
|
Kuda
|
15-18
|
13-18
|
Waktu pubertas lebih dipengaruhi oleh perkembangan tubuh dibandingkan dengan umur
% Berat Badan Saat Pubertas
|
Sapi Perah
|
30-40% BB dewasa
|
Sapi Potong
|
45-55% BB dewasa
|
Kambing
|
40-60% BB dewasa
|
2. Urutan Waktu Dalam Siklus Birahi
- Lama Siklus Birahi : 18 – 24 hari atau ± 21 hari
- Lama birahi : 6 – 30 jam atau rata – rata 17 jam, tergantung umur
Birahi mulai sore lebih lama 2- 4 jam daripada birahi pagi
- Waktu ovulasi : sejak awal birahi sampai ovulasi berkisar antara 16 – 65 jam atau rata – rata 25 – 30 jam
- Birahi setelah beranak : 21 -80 hari atau rata – rata 60 hari sejak beranak, bisa juga tergantung interval pemerahan :
· Pada sapi yang diperah 4 kali sehari terjadi birahi ± 69 hari sejak beranak
· Pada sapi yang diperah 2 kali sehari terjadi birahi ± 46 hari sejak beranak atau rata – rata 60 hari
· Pada induk yang menyusui anak akan kembali birahi pada hari ke – 72 sejak beranak
3. Birahi / Estrus
Estrus adalah fase yang terpenting dalam siklus berahi, karena dalam fase ini hewan betina memperlihatkan gejala yang khusus untuk tiap-tiap hewan, dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Ciri khas dari estrus adalah terjadinya kopulasi. Jika hewan menolak untuk kopulasi, maka penolakan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah terlewat. Tanda lain yang umumnya mereka perlihatkan tanda gelisa, nafsu makan berkurang atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya. Dalam servic jumlah lendir maupun jumlah sekresi lendir dalam tiap-tiap kelenjar bertambah. Pada sapi lendir yang dihasilkan oleh service ini bersifat bening, terang tembus dan mengalir ke vagina. Vagina dan vulva pada jenis hewan tidak memperlihatkan banyak perubahan, hanya pada dara (betina yang baru pubertas) pada umumnya terjadi kebengkakan vulva serta perubahan vaskularisasi hingga warnanya agak kemerah-merahan dan selalu terlihat pada waktu estrus.Perubahan-perubahan seperti ini pada hewan betina dewasa yang telah beberapa kali beranak, sering tidak nyata.
VARIASI SIKLUS ESTRUS PADA BERBAGAI SPESIES HEWAN
|
Domba
|
Babi
|
Sapi
|
Kuda
|
Lama Siklus Berahi
|
14-19 hari
|
17-22 hari
|
18-24 hari
|
16-24 hari
|
Lama Berahi
|
24-36 jam
|
48-72 jam
|
12-19 jam
|
2-11 jam
|
Waktu Ovulasi
|
24-36 jam
(setelah awal berahi)
|
35-45 jam
(setelah awal berahi)
|
10-11 jam
(setelah akhir estrus)
|
1-2 hari
(sebelum akhir estrus)
|
Waktu untuk Inseminasi Buatan
|
12-18 jam
setelah awal
estrus
|
16-24 jam
setelah awal estrus dan diulang kembali
8-24 jam kemudian
|
7-18 jam
setelah awal berahi
|
Hari kedua dan
hari-hari lain selama berahi
|
Peternak atau petugas akan mudah melakukan deteksi birahi apabila memahami tanda – tanda birahi sapi terjadi serta kebiasaan rutin sapi tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya pola rutin deteksi birahi :
- Deteksi 3 kali sehari yaitu pada pagi hari saat pagi, pada siang hari saat sapi dalam kondisi tenang / istirahat dan pada sore hari.
- Waktu pengamatan birahi dilakukan sesuai dengan siklus birahi yaitu setiap hari ke -19 -23 (rata – rata pada hari ke – 21) setelah birahi sebelumnya. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan bantuan kalender IB dan jika ada tanda – tanda segera lapor kepada petugas IB
- Petugas dapat melakukan palpasi rectal untuk mengetahu kondisi ovarium
Angka kebuntingan tertinggi atau waktu IB terbaik adalah 4 – 20 jam sejak awal birahi
5. Saat Yang Tepat Melakukan Inseminasi Buatan Sapi
Dalam pelaksanaan di lapangan, baik inseminator maupun pemilik sapi sukar untuk dapat mengetahui saat dimulainya estrus, lebih-lebih saat ovulasi. Untuk memudahkan pelaksanaan, maka dibuat petunjuk umum yang dapat digunakan dengan mudah. Faktor yang terpenting dalam petunjuk tersebut adalah pengamatan terhadap berahi. Bila gejala berahi sudah terlihat maka saat inseminasi mudah ditentukan. Sehingga petunjuk praktisnya sebagai berikut, jika sapi terlihat berahi pada pagi hari ini, maka inseminasi harus dilakukan pada hari itu juga, sedangkan bila sapi terlihat berahi pada sore hari ini, maka inseminasi harus dilakukan pada esok harinya sebelum jam 12.00 siang.
PETUNJUK WAKTU MELAKUKAN I.B. PADA SAPI
Sapi terlihat berahi
|
Saat yang baik melakukan I.B.
|
Terlambat
|
Pada pagi hari ini
|
I.B. Hari ini juga
|
Ditangguhkan sampai besok
|
Sore atau malam hari
|
I.B. besok pagi sebelum jam 12.00 siang
|
Sesudah jam 12.00 esok harinya
|
D. KEBUNTINGAN
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan dengan kelahiran anak yang hidup. Kebuntingan pada sapi dapat didiagnosa melalui palpasi rectal dan penentuan kadar progesterone dalamserum darah. Darah dapat diambil pada hari 21 sampai 24 sesudah IB untuk diperiksa di laboratorium dengan metode radioimmunoassay (RIA) atau metode ELISA.
PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN
INDIKASI LUAR
Berhentinya gejala-gejala birahi sesudah IB sudah bisa menandakan adanya kebuntingan, akan tetapi tidak berarti bahwa seratus persen akan terjadi kebuntingan. Peternak mungkin lalai atau tidak memperhatikan gejala birahi walaupun tidak terjadi kebuntingan. Kematian embrio dini atau abortus mungkin saja dapat terjadi. Perubahan-perubahan patologis dapat terjadi didalam uterus seperti myometra, sista ovarium bisa menyebabkan kegagalan birahi. Penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara perdarahan setelah IB dengan konsepsi.
Kelenjar susu pada sapi dara berkembang dan membesar mulai kebuntingan 4 bulan. Pada sapi yang pernah beranak/ sering beranak pembesaran ambing terjadi pada 1 sampai 4 minggu menjelang kelahiran.
Ternak betina bertambah tenang, lamban dan hati-hati dalam pergerakannya sesuia dengan bertambahnya umur kebuntingan. Pada minggu terakhir kebuntingan ada kecenderungan pertambahan berat badan. Pada akhir kebuntingan ligamentum pelvis mengendur, terlihat legokan pada pangkal tulang ekor, oedema dan relaksasi vulva.
Pada umur kebuntingan 6 bulan keatas gerakan fetus dapat dipantulkan dari dinding luar perut. Fetus teraba sebagai benda padat dan besar yang tergantung berayun didalam struktur lunak perut (abdomen).
INDIKASI DALAM
Palpasi per-rektal terhadap uterus, ovaria dan pembuluh darah uterus adalah cara diagnosa - diagnose kebuntingan yang paling praktis dan akurat pada sapi dan kerbau.
Sebelum palpasi rektal perlu dikatahui :
· Sejarah perkawinan ternak yang bersangkutan
· Tanggal melahirkan terakhir
· Tanggal dan jumlah perkawinan atau IB
· Kejadian-kejadian penyakit pada ternak tersebut
Catatan reproduksi yang lengkap sangat membantu dalam menentukan kebuntingan secara cepat dan tepat.
E. KELAHIRAN
Sejumlah teori telah banyak memaparkan mengenai penyebab awal kelahiran, pada umumnya didasarkan atas pengaruh hormon dan keterbatasan perluasan dan pertumbuhan uterus. Bukti – bukti menyatakan bahwa kadar estrogen menaik menjelang akhir kebuntingan dan kenaikan ini menimbulkan kepekaan urat daging uterus dan menghentikan perluasan uterus. Akibat tekanan didalam uterus yang meningkat akan menyebabkan bertambahnya rangsangan . Kenaikan tekanan dalam uterus beserta bertambahnya kepekaan uterus akan menyebabkan dilepaskannya hormon oxytocin sehingga terjadi kontraksi uterus yang kuat yang mendorong fetus keluar.
GEJALA-GEJALA MENJELANG PARTUS
Gejala-gejala menjelang partus hampir sama pada semua ternak, tetapi tidak konstan antara individu ternak. Oleh karena itu gejala –gejala ini tidak dapat dipakai untuk meramalkan secara tepat waktu partus seekor ternak, tetapi dapat merupakan indikasi yang baik terhadap perkiraan waktu kelahiran yang diharapkan.
Pada sapi ligamen-ligamen pada pelvis (urat-urat daging pada pinggul) sangat mengendur yang menyebabkan penurunan urat daging pada bagian belakang. Pada kebanyakan sapi pengenduran urat-urat daging ini menandakan bahwa partus kemungkinan akan terjadi dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Vulva menjadi sangat oedematus (bengkak), melonggar sampai 2-6 kali dari ukuran normal. Ambing membesar dan oedematus. Pada sapi dara pembengkakan dimulai bulan ke empat pereode kebuntingan, pada sapi yang pernah beranak (pluripara) pembesaran ambing mungkin tidak nyata 2- 4 minggu sebelum partus.
Suatu lendir putih, kental dan lengket keluar dari bagian kranial vagina mulai bulan ke tujuh masa kebuntingan, lendir tersenut makin banyak keluar menjelang kelahiran. Segera sebelum partus jumlah lendir sangat meningkat.
Selama beberapa jam sebelum partus ternak memperlihatkan penurunan napsu makan dan ketidaktenangan, mengibas-ngibaskan ekor, menyentak-nyentak kaki, berbaring dan bangkit lagi kembali.
TAHAP-TAHAP KELAHIRAN
Walaupun aktivitas partus merupakan suatu proses yang berkesinambungan, tetapi sebagai gambaran diskriptif dapat dibagi 3 tahap.
Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan konstraksi aktif serabut-serabut urat daging pada dinding rahim (uterus) dan melebarnya (dilatasi) leher rahim (cervix). Kondisi ini terjadi karena adanya perubahan hormonal dalam tubuh induk menjelang kelahiran. Konstraksi uterus terjadi setiap 10 menit sampai 15 menit dan berlangsung sampai 15 sampai 30 detik.
Tahap pertama pada sapi yang baru pertama kali melahirkan nampak berlangsung lebih lama daripada sapi yang sudah pernah beranak. Pada tahap pertama ini yang nampak adalah ternak kalihatan gelisah, napsu makan turun, sebentar berbaring sebentar berdiri. Menjelang akhir tahap ini ketuban (allantochorion) nampak keluar dari vagina dan kemudian pecah. Fetus sudah mulai memposisikan diri untuk keluar dari uterus
Tahap Kedua
Tahap kedua ini ditandai oleh pemasukan fetus kedalam saluran kelahiran yang berdilatasi, pecahnya kantong ketuban (allantois), kontraksi abdominal atau perejanan dan pengeluaran fetus melalui vulva. Selama tahap kedua ini, uterus mengalami perejanan 4 sampai 8, setiap 10 menit dan berlangsung 80 sampai 100 detik. Perejanan berulang-ulang berlangsung terus dan kaki fetus terlihat di vulva. Sewaktu kaki fetus melewati vulva, kantong amnion pecah. Peningkatan konstraksi abdominal terjadi pada waktu kepala, bahu dan pinggul fetus memasuki pelvis. Ketika kepala fetus memasuki vulva, pada saat inilah terjadi perejanan perut (abdominal) yang terkuat pada proses partus. Sesudah kepala fetus melewati vulva, biasanya induk istirahat untuk beberapa menit sebelum kembali merejan dengan kuat sewaktu dada fetus berlalu melewati saluran pelvis. Pinggul segera menyusul kemasuki saluran kelahiran. Tahap kedua proses kelahiran berlangsung 0,5 sampai 3 atau 4 jam. Pada sapi yang sudah sering beranak tahap ini hannya memerlukan setengah sampai satu jam.
Tahap Ketiga
Tahap ketiga ini adalah tahap terakhir dari suatu proses kelahiran yang ditandai dengan pengeluaran selaput fetus/ ari-ari (plasenta) dan involusi uterus. Pengeluaran plasenta secara normal selasai dalam beberapa jam setelah pengeluran fetus. Lama waktu yang diperlukan yntuk pengeluaran plasenta pada sapi adalah 0,5 sampai 8 jam.
D. GANGGUAN REPRODUKSI DAN PENANGANANNYA
Gangguan Reproduksi Yang Biasa Terjadi Pada Sapi :
A. Birahi tenang (Silent Heat)
Birahi tenang atau birahi tidak teramati banyak dilaporkan pada sapi potong; sapi dengan birahi tenang mempunyai siklus reproduksi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat. Birahi tenang akan mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan sapinya birahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat.
Birahi tenang pada sapi karena beberapa kemungkinan yaitu :
a. faktor genetis
b. manajemen peternakan yang kurang baik
c. defisiensi komponen-komponen pakan atau defisiensi nutrisi,
d. kondisi fisik jelek, kebanyakan karena parasit interna (cacing),
B. Tidak birahi sama sekali (anestrus)
Tidak birahi sama sekali atau anestrus adalah keadaan dimana memang tidak terjadi siklus reproduksi, tidak ada ovulasi, sehingga tidak terjadi gejala birahi sama sekali. Kasus anestrus pada sapi perah cukup banyak ditemui, umumnya terjadi setelah beranak. Anestrus pada sapi perah akibat defisiensi nutrisi umumnya berupa penurunan ovaria (hipofungsi ovaria) bisa mencapai 90% dan akibat adanya peradangan saluran reproduksi 10%.
C. Kawin berulang (Reapet Breeder)
Kawin berulang adalah induk ternak yang mempunyai siklus birahi normal dan gejala birahi yang jelas tetapi bila dikawinkan atau di inseminasi buatan berulang-ulang tidak pernah menjadi bunting.
Penyebab kawin berulang adalah:
- Faktor kegagalan pembuahan (fertilization failure)
- Faktor kematian embrio dini (early embrionic death)
Penanganan gangguan reproduksi dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Perbaikan kondisi tubuh, usahakan kondisi fisik (body condition score = BCS, skor kondisi tubuh = SKT) optimum untuk reproduksi, yaitu sekitar 3,0 dari suatu cara penilaian kondisi tubuh antara 1 (kekurusan) dan 5 (kegemukan). Perbaikan kondisi tubuh dapat lebih cepat dibantu dengan perbaikan pemberian pakan yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup, dan pemberian obat cacing secara teratur (reguler).
b. Intensifikasi pengamatan birahi individu sapi. Penanganan yang lebih sering, terutama pada waktu malam hari. Pengamatan birahi akan lebih mudah bila dimungkinkan untuk menjadikan sejumlah sapi-sapi betina yang berdekatan dalam satu kandang lepas besar atau dalam satu padangan untuk dilakukan inseminasi buatan atau kawin pejantan.
c. Aplikasi sinkronisasi birahi dan ovulasi dengan mempertimbangkan perhitungan ekonomis.