Kambing Etawa
kambingCiri ciri dan informasi mengenai Kambing Etawa (PE)
Asal usul Kambing Etawa
Kambing merupakan hewan ruminansia yang sudah di domestikasi sejak 7000 tahun lalu setelah anjing, kuda & domba.
Kambing berasal dari daerah Asia Barat dan Persia, dan mulai dibudidayakan sejak tahhun 7000 – 8000 SM. Dalam perkembangannya kambing hasil domestikasi ini menyebar ke berbagai pelosok dan beradaptasi menghasilkan nilai fungsional berbeda – beda yaitu ada yang cocok sebagai kambing pedaging, kambing penghasil susu, diambil bulunya maupun kambing penghasil susu sekaligus daging.
Dari hasil adaptasi ini muncullah berbagai species dan karakter spesifik di berbagai daerah, hasilnya kambing Etawa dari Jamnapari India, kambing Apin dari pegunungan Alpen di Swiss, kambing Saanen dari Swiss, kambing Anglo Nubian dari Nubian timur laut Afrika, kambing Beetel dari Rawalpindi dan Lahore, Pakistan serta di Punjab, India.
Namun demikian dari banyaknya jenis kambing yang ada di dunia kambing Etawa dari India adalah yang paling terkenal, hal ini disebabkan karena kambing Etawa merupakan kambing unggul dwiguna yang sangat potensial sebagai penghasil daging dan susu.
Kambing Etawa, masuk ke Indonesia pertama kali di bawa oleh orang Belanda pada tahun 1920-an, orang Belanda tersebut membawa banyak kambing Etawa pertama kali ke Pulau Jawa, tepatnya di Jogyakarta. Kambing ini lebih terkenal sebagai kambing perah / penghasil susu, dimana saat itu kambing ini di sebut dengan kambing Benggala / kambing Jamnapari sesuai dengan asalnya di India.
Selanjutnya kambing Etawa ini dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Jogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo. Seiring dengan perjalanan waktu terjadilah perkawinan silang antara kambing Etawa dengan kambing lokal, ( seperti kambing Jawarandu atau kambing Kacang,) dan ternyata keturunan yang dihasilkan lebih bagus daripada kambing lokal.
Keturunan hasil persilangan kambing Etawa dengan kambing Jawarandu atau kambing Kacang oleh masyarakat disebut keturunan Etawa atau Peranakan Etawa. Terkenal dengan sebutan kambing Peranakan Etawa atau kambing PE.
Daerah Kaligesing di Purworejo, Jawa Tengah hingga saat ini merupakan daerah sentra utama peternakan kambing PE, karena daerah ini berhawa dingin dan memiliki potensi hijauan melimpah sehingga sangat cocok untuk kambing PE, jika membicarakan kambing PE, sebagian besar masyarakat langsung teringat daerah ini, sehingga tidak salah jika kambing PE menjadi trademark daerah Kaligesing.
Sebagai kambing unggul dwiguna yang potensial kambing Etawa menyebar di beberapa negara dan banyak digunakan untuk memperbaiki kualitas kambing lokal, dengan cara mengawinkan kambing Etawa dengan kambing lokal seperti yang ada di Kaligesing. Namun hingga tahun 2008, populasi kambing PE terbesar tetap berada di Indonesia.
Sentra pengembangan kambing PE selain di Kaligesing, adalah di Jogyakarta (Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo) di Jawa Timur (Tulungagung , Blitar, dan Malang), di Jawa Tengah (Pati, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Wonosobo dan Jepara) di Jawa Barat (Bogor, Bandung dan Sukabumi) serta Palembang dan Lampung.
Namun demikian sentra kambing PE terbesar selain Kaligesing adalah Bantul dan Sleman. Kedua sentra ini merupakan penghasil susu kambing yang cukup besar, sekaligus tujuan para peternak dan calon peternak untuk mendapatkan bibit Kambing PE.
Berbagai penyebab menyerbarnya kambing PE ke berbagai daerah adalah kebutuhan masyarakat terhadap susu kambing untuk pengobatan, digunakan sebagai pejantan untuk memperbaiki kualitas kambing lokal pedaging, dan sebagai kambing hias atau kontes yang memiliki nilai jual tinggi.
Nilai Ekonomi
Beternak kambing PE lebih menguntungkan bila dibanding dengan memelihara kambing lokal / domba. Beberapa nilai ekonomis dari berternak kambing PE antara lain :
A. Penghasil susu
Di Indonesia susu kambing dikonsumsi sebagai obat alternatif, bukan sebagai pelengkap gizi. Umumnya, orang mengonsumsi susu ini untuk membantu penyembuhan penyakit asma, tuberkolosis ( TBC ), eksim, membantu penyehatan kulit, mencegah penuaan dini dan mencegah osteoporosis. Pada masa laktasi kambing PE mampu menghasilkan 0,8 – 2,5 liter susu perhari, dengan harga jual antara Rp 15.000 – 20.000 per liter. Sebagai gambaran jika seorang peternak memelihara 7 -10 ekor, diperkirakan yang laktasi 5 ekor dan rata-rata menghasilkan 1 liter per hari, maka penghasilan peternak tersebut setiap hari adalah sekitar 5 liter susu dengan harga rata-rata Rp. 15.000 perliter, maka pendapatan peternak tersebut adalah sekitar Rp. 75.000 / hari.
B. Penghasil Daging
Selain menghasilkan susu, kambing PE juga potensial sebagai penghasil daging. Sehingga pejantan kambing PE, banyak digunakan oleh peternak untuk memperbaiki kualitas kambing lokal pedaging. Karena perkawinan silang ini menghasilkan kambing dengan sosok badan lebih besar layaknya kambing PE.
C. Penghasil Pupuk & Kulit
Kotoran kambing PE dapat digunakan sebagai pupuk organik, sedangkan kulitnya karena mempunyai ukuran yang lebih besar daripada kulit kambing lokal, maka kulit kambing PE banyak di cari orang untuk digunakan sebagai bahan kerajinan kulit.
D. Sebagai Sumber Pendapatan
Beternak kambing PE , dapat digunakan sebagai sumber pendapatan alternatif di pedesaan yang sangat menjanjikan bila ditekuni secara serius, biaya yang di keluarkan untuk pembuatan kandang dan biaya perawatan relatif sama bila di bandingkan dengan biaya memelihara kambing lokal.
Sebagai gambaran dalam memelihara kambing PE adalah sebagai berikut :
Seandainya pada awal usaha kita memelihara 5 ekor betina dan 1 ekor kambing pejantan, maka dalam waktu 7 bulan, ternak kita akan bertambah 5 ekor anak (perhitungannya 1 ekor induk minimal beranak 1 ekor, padahal biasanya 1 ekor induk melahirkan 2 atau 3 ekor anak). Dengan demikian setiap 8 bulan berikutnya induk akan kembali melahirkan, sementara anakan pertama semakin besar dan mulai bunting.
Dengan gambaran diatas, beternak kambing PE dapat digunakan sebagai sumber pendapatan dari penjualan anakan karena harganya cukup tinggi maupun sebagai penghasil susu. Disamping itu, bila kita memelihara pejantan kambing PE kualitas (great A), maka penghasilan akan bertambah dari banyaknya peternak yang ingin mengawinkan induknya. (biaya mengawinkan kambing betina dengan pejantan unggulan berkisar Rp. 250.000 – 300.000 per kali perkawinan).
Adapun keunggulan lain dari Kambing PE, adalah karena sosok dan penampilannya, membuat kambing ini layak sebagai hewan Kebanggaan. Bahkan pada awal tahun 2000, marak diadakan kontes kambing PE.
Maraknya kontes kambing PE di berbagai daerah, memberi dampak positif pada munculnya beberapa kategori atau kelas pada kambing PE. Misalnya kelas pejantan, kelas calon pejantan, kelas induk, dan kelas calon induk. Selain itu dengan adanya kontes ini seakan membangkitkan kembali roh peternakan kambing PE, mengenalkan potensi kambing PE pada masyarakat, meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan minat beternak dan meningkatkan kunjungan wisata.
Namun demikian, disinyalir pada akhir-akhir ini diperkirakan sekitar 500 – 1000 ekor per tahun Kambing PE kualitas A, banyak dikirim keluar dari Jawa Tengah terutama dikirim ke Malaysia. Dengan adanya upaya-upaya pengiriman kambing PE kualitas A keluar Jawa Tengah, akan memberi dampak yang kurang baik bagi kualitas / keturunan kambing PE pada masa yang akan datang. Oleh karena itu upaya penghentian pengiriman kambing PE kualitas A, perlu segera dilakukan dan memberi sanksi yang tegas bagi pelaku. Mengingat Kambing PE merupakan ternak asli Jawa Tengah, sehingga upaya untuk menjaga kelestarian dan kemurnian genetik ternak tersebut menjadi kewajiban dan tanggung jawab moral kita bersama.
Asal usul Kambing Etawa
Kambing merupakan hewan ruminansia yang sudah di domestikasi sejak 7000 tahun lalu setelah anjing, kuda & domba.
Kambing berasal dari daerah Asia Barat dan Persia, dan mulai dibudidayakan sejak tahhun 7000 – 8000 SM. Dalam perkembangannya kambing hasil domestikasi ini menyebar ke berbagai pelosok dan beradaptasi menghasilkan nilai fungsional berbeda – beda yaitu ada yang cocok sebagai kambing pedaging, kambing penghasil susu, diambil bulunya maupun kambing penghasil susu sekaligus daging.
Dari hasil adaptasi ini muncullah berbagai species dan karakter spesifik di berbagai daerah, hasilnya kambing Etawa dari Jamnapari India, kambing Apin dari pegunungan Alpen di Swiss, kambing Saanen dari Swiss, kambing Anglo Nubian dari Nubian timur laut Afrika, kambing Beetel dari Rawalpindi dan Lahore, Pakistan serta di Punjab, India.
Namun demikian dari banyaknya jenis kambing yang ada di dunia kambing Etawa dari India adalah yang paling terkenal, hal ini disebabkan karena kambing Etawa merupakan kambing unggul dwiguna yang sangat potensial sebagai penghasil daging dan susu.
Kambing Etawa, masuk ke Indonesia pertama kali di bawa oleh orang Belanda pada tahun 1920-an, orang Belanda tersebut membawa banyak kambing Etawa pertama kali ke Pulau Jawa, tepatnya di Jogyakarta. Kambing ini lebih terkenal sebagai kambing perah / penghasil susu, dimana saat itu kambing ini di sebut dengan kambing Benggala / kambing Jamnapari sesuai dengan asalnya di India.
Selanjutnya kambing Etawa ini dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Jogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo. Seiring dengan perjalanan waktu terjadilah perkawinan silang antara kambing Etawa dengan kambing lokal, ( seperti kambing Jawarandu atau kambing Kacang,) dan ternyata keturunan yang dihasilkan lebih bagus daripada kambing lokal.
Keturunan hasil persilangan kambing Etawa dengan kambing Jawarandu atau kambing Kacang oleh masyarakat disebut keturunan Etawa atau Peranakan Etawa. Terkenal dengan sebutan kambing Peranakan Etawa atau kambing PE.
Daerah Kaligesing di Purworejo, Jawa Tengah hingga saat ini merupakan daerah sentra utama peternakan kambing PE, karena daerah ini berhawa dingin dan memiliki potensi hijauan melimpah sehingga sangat cocok untuk kambing PE, jika membicarakan kambing PE, sebagian besar masyarakat langsung teringat daerah ini, sehingga tidak salah jika kambing PE menjadi trademark daerah Kaligesing.
Sebagai kambing unggul dwiguna yang potensial kambing Etawa menyebar di beberapa negara dan banyak digunakan untuk memperbaiki kualitas kambing lokal, dengan cara mengawinkan kambing Etawa dengan kambing lokal seperti yang ada di Kaligesing. Namun hingga tahun 2008, populasi kambing PE terbesar tetap berada di Indonesia.
Sentra pengembangan kambing PE selain di Kaligesing, adalah di Jogyakarta (Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo) di Jawa Timur (Tulungagung , Blitar, dan Malang), di Jawa Tengah (Pati, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Wonosobo dan Jepara) di Jawa Barat (Bogor, Bandung dan Sukabumi) serta Palembang dan Lampung.
Namun demikian sentra kambing PE terbesar selain Kaligesing adalah Bantul dan Sleman. Kedua sentra ini merupakan penghasil susu kambing yang cukup besar, sekaligus tujuan para peternak dan calon peternak untuk mendapatkan bibit Kambing PE.
Berbagai penyebab menyerbarnya kambing PE ke berbagai daerah adalah kebutuhan masyarakat terhadap susu kambing untuk pengobatan, digunakan sebagai pejantan untuk memperbaiki kualitas kambing lokal pedaging, dan sebagai kambing hias atau kontes yang memiliki nilai jual tinggi.
Nilai Ekonomi
Beternak kambing PE lebih menguntungkan bila dibanding dengan memelihara kambing lokal / domba. Beberapa nilai ekonomis dari berternak kambing PE antara lain :
A. Penghasil susu
Di Indonesia susu kambing dikonsumsi sebagai obat alternatif, bukan sebagai pelengkap gizi. Umumnya, orang mengonsumsi susu ini untuk membantu penyembuhan penyakit asma, tuberkolosis ( TBC ), eksim, membantu penyehatan kulit, mencegah penuaan dini dan mencegah osteoporosis. Pada masa laktasi kambing PE mampu menghasilkan 0,8 – 2,5 liter susu perhari, dengan harga jual antara Rp 15.000 – 20.000 per liter. Sebagai gambaran jika seorang peternak memelihara 7 -10 ekor, diperkirakan yang laktasi 5 ekor dan rata-rata menghasilkan 1 liter per hari, maka penghasilan peternak tersebut setiap hari adalah sekitar 5 liter susu dengan harga rata-rata Rp. 15.000 perliter, maka pendapatan peternak tersebut adalah sekitar Rp. 75.000 / hari.
B. Penghasil Daging
Selain menghasilkan susu, kambing PE juga potensial sebagai penghasil daging. Sehingga pejantan kambing PE, banyak digunakan oleh peternak untuk memperbaiki kualitas kambing lokal pedaging. Karena perkawinan silang ini menghasilkan kambing dengan sosok badan lebih besar layaknya kambing PE.
C. Penghasil Pupuk & Kulit
Kotoran kambing PE dapat digunakan sebagai pupuk organik, sedangkan kulitnya karena mempunyai ukuran yang lebih besar daripada kulit kambing lokal, maka kulit kambing PE banyak di cari orang untuk digunakan sebagai bahan kerajinan kulit.
D. Sebagai Sumber Pendapatan
Beternak kambing PE , dapat digunakan sebagai sumber pendapatan alternatif di pedesaan yang sangat menjanjikan bila ditekuni secara serius, biaya yang di keluarkan untuk pembuatan kandang dan biaya perawatan relatif sama bila di bandingkan dengan biaya memelihara kambing lokal.
Sebagai gambaran dalam memelihara kambing PE adalah sebagai berikut :
Seandainya pada awal usaha kita memelihara 5 ekor betina dan 1 ekor kambing pejantan, maka dalam waktu 7 bulan, ternak kita akan bertambah 5 ekor anak (perhitungannya 1 ekor induk minimal beranak 1 ekor, padahal biasanya 1 ekor induk melahirkan 2 atau 3 ekor anak). Dengan demikian setiap 8 bulan berikutnya induk akan kembali melahirkan, sementara anakan pertama semakin besar dan mulai bunting.
Dengan gambaran diatas, beternak kambing PE dapat digunakan sebagai sumber pendapatan dari penjualan anakan karena harganya cukup tinggi maupun sebagai penghasil susu. Disamping itu, bila kita memelihara pejantan kambing PE kualitas (great A), maka penghasilan akan bertambah dari banyaknya peternak yang ingin mengawinkan induknya. (biaya mengawinkan kambing betina dengan pejantan unggulan berkisar Rp. 250.000 – 300.000 per kali perkawinan).
Adapun keunggulan lain dari Kambing PE, adalah karena sosok dan penampilannya, membuat kambing ini layak sebagai hewan Kebanggaan. Bahkan pada awal tahun 2000, marak diadakan kontes kambing PE.
Maraknya kontes kambing PE di berbagai daerah, memberi dampak positif pada munculnya beberapa kategori atau kelas pada kambing PE. Misalnya kelas pejantan, kelas calon pejantan, kelas induk, dan kelas calon induk. Selain itu dengan adanya kontes ini seakan membangkitkan kembali roh peternakan kambing PE, mengenalkan potensi kambing PE pada masyarakat, meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan minat beternak dan meningkatkan kunjungan wisata.
Namun demikian, disinyalir pada akhir-akhir ini diperkirakan sekitar 500 – 1000 ekor per tahun Kambing PE kualitas A, banyak dikirim keluar dari Jawa Tengah terutama dikirim ke Malaysia. Dengan adanya upaya-upaya pengiriman kambing PE kualitas A keluar Jawa Tengah, akan memberi dampak yang kurang baik bagi kualitas / keturunan kambing PE pada masa yang akan datang. Oleh karena itu upaya penghentian pengiriman kambing PE kualitas A, perlu segera dilakukan dan memberi sanksi yang tegas bagi pelaku. Mengingat Kambing PE merupakan ternak asli Jawa Tengah, sehingga upaya untuk menjaga kelestarian dan kemurnian genetik ternak tersebut menjadi kewajiban dan tanggung jawab moral kita bersama.
0 komentar:
Posting Komentar