Selamatkan Sapi Betina Produktif
Sejak dua dekade terakhir ini, Indonesia mengimpor daging dan sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan impor telah mencapai lebih dari 30 persen dari total kebutuhan daging nasional. Ada tiga kemungkinan, mengapa Indonesia harus mengimpor, padahal pada era tahun 1970-an atau sebelumnya Indonesia justru merupakan eksportir sapi. Pertama, permintaan daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan produksi. Kedua, permintaan di dalam negeri meningkat tetapi produksi di dalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat seirama dengan perkembangan ekonomi, namun produksi daging di dalam negeri cenderung berkurang.
Dari ketiga kemungkinan tersebut hanya ada satu jawaban bila Indonesia ingin mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu meningkatkan populasi dan produktivitas sapi yang dibarengi dengan peningkatan bobot badan dari setiap ekor sapi yang akan dipotong. Peningkatan populasi dapat dilakukan bila jumlah sapi betina produktif semakin banyak. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir ini diduga populasi sapi betina produktif tidak bertambah dan justru dikhawatirkan semakin berkurang akibat pemotongan yang terjadi di beberapa wilayah sumber ternak.
Di salah satu RPH resmi dijumpai bahwa 95 persen sapi yang dipotong setiap harinya adalah betina, sebagian besar adalah betina muda, dan di antaranya adalah sapi betina dalam kondisi bunting. Secara nasional, diperkirakan sekitar 150-200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya. Jumlah ini sangat besar dan patut diduga akan mengganggu populasi dan produksi daging yang berasal dari sapi lokal.
Pemotongan Sapi Betina Produktif sejak jaman Hindia Belanda telah dilarang. Pelarangan tersebut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun larangan tersebut tidak dikenai sanksi, sehingga implementasinya di lapang tidak efektif. Selanjutnya, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Juni 2009, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif. Orang yang melanggar larangan ini diancam Sanksi Administratif berupa denda sedikitnya Rp. 5 juta, dan Ketentuan Pidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan (Pasal 85 dan Pasal 86). Akan tetapi kenyataan di lapang menunjukkan bahwa pemotongan sapi betina produktif masih banyak terjadi, dan sulit dikendalikan.
Mengapa dipotong
Pemotongan Sapi Betina Produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Jagal, sebagai satu-satunya pelaku pemotongan sapi betina produktif, mempunyai alasan utama yaitu mencari keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Di samping itu jagal juga mempunyai banyak pertimbangan mengapa melakukan pemotongan sapi betina produktif, yaitu:
- (i) sulit mencari sapi kecil untuk dipotong,
- (ii) di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa ke kota besar,
- (iii) harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang sama,
- (iv) pengawasan dari petugas sangat lemah,
- (v) tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham bila hal tersebut melanggar undang-undang, serta
- (vi) peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila memerlukan uang cash.
Alasan utama dari jagal adalah mencari keuntungan. Artinya, bila pemotongan sapi betina tidak memberi keuntungan finansial secara nyata, jagal secara sukarela tidak akan pernah memotongnya. Oleh karena itu, semua upaya dan kebijakan untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pisau jagal adalah membuat kondisi agar harga sapi betina produktif menjadi sama atau sedikit lebih mahal dibandingkan sapi jantan. Persentase karkas dan kualitas daging sapi betina biasanya lebih rendah dibanding sapi jantan. Namun karena harganya lebih murah, jagal tetap memperoleh keuntungan yang layak. Biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH ‘resmi” atau liar. Namun, tidak jarang dapat dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta.
Perlu Kebijakan
Pelarangan Pemotongan Sapi Betina Produktif sudah sangat jelas dan tegas, namun sebagian besar pengemban kepentingan belum sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 – 1.000.000/ekor. Ketentuan pelarangan tersebut yang dibarengi dengan pembatasan pengeluaran ternak betina ternyata justru lebih menekan harga sapi. Sementara itu hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar pulau, sehingga jagal tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong sapi betina produktif. Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah dianggap sebagai hal yang lumrah.
Pelarangan Pemotongan Sapi Betina Produktif sudah sangat jelas dan tegas, namun sebagian besar pengemban kepentingan belum sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 – 1.000.000/ekor. Ketentuan pelarangan tersebut yang dibarengi dengan pembatasan pengeluaran ternak betina ternyata justru lebih menekan harga sapi. Sementara itu hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar pulau, sehingga jagal tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong sapi betina produktif. Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah dianggap sebagai hal yang lumrah.
Kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya, yaitu pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak akan menjual apa saja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu pengembangan ternak lain seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah perlu untuk cadangan bila peternak memerlukan uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu, pengembangan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro di tingkat pedesaan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang cash dalam jumlah yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah penjualan sapi betina produktif.
Pemotongan sapi betina produktif di beberapa wilayah sumber bibit seperti di Kupang-NTT, dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Menteri Pertanian dan Perwakilan Komisi IV DPR-RI secara langsung telah menyaksikan kejadian ini. Di lain pihak, pengeluaran sapi betina produktif dilarang untuk mencegah terjadinya pengurasan. Seandainya sapi-sapi betina yang saat ini dipotong di RPH diperbolehkan untuk diantar pulaukan, maka dapat diperkirakan harga sapi betina produktif akan meningkat dan jagal tidak akan memotongnya. Perubahan kebijakan ini tentunya harus dibarengi dengan penyediaan sapi jantan bagi jagal lokal, serta pengaturan kuota pengeluaran sapi jantan maupun sapi betina dengan lebih cermat. Untuk menghambat pemotongan sapi di kawasan ini juga diperlukan dukungan kebijakan dan program lain untuk pengembangan ternak selain sapi, sebagai substitusi untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat setempat.
Lemahnya pengawasan oleh petugas serta inkonsistensinya dalam penegakkan peraturan merupakan salah satu penyebab tingginya kejadian pemotongan sapi betina produktif di Indonesia. Selain itu kebijakan untuk meningkatkan PAD dari setiap RPH juga menjadi alasan petugas untuk melakukan pembiaran pemotongan sapi betina produktif. Oleh karena itu kebijakan dalam penetapan retribusi untuk pemotongan ternak di setiap RPH dapat dimanfaatkan sebagai instrumen dalam pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
Pemotongan Sapi Betina Produktif dapat dihambat bila kesadaran seluruh pemangku kepentingan mulai dari peternak, pedagang, jagal, konsumen sampai pada petugas dapat ditingkatkan. Instrumen berupa undang-undang sudah ada, namun ternyata sampai saat ini masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu perlu ada upaya tambahan yaitu dengan melakukan pendekatan secara etika, budaya dan agama. Sosialisasi tentang hal ini mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, ilmuwan dan politisi melalui pendekatan sosial budaya, bukan hanya melalui pendekatan teknis, ekonomi dan hukum. Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif dengan demikian harus dilakukan dengan berbagai pendekatan baik yang bersifat teknis ekonomis maupun sosial budaya. Kebijakan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik, dan untuk setiap wilayah perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada.
Untuk wilayah gudang ternak diperlukan kebijakan untuk mengeluarkan sapi betina produktif secara terkendali (terbatas), sementara untuk wilayah kosong ternak harus ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal untuk dikembangbiakkan yang berasal dari wilayah padat ternak. Untuk merealisir kebijakan ini diperlukan dukungan dana dan kelembagaan yang memadai, serta dibarengi dengan pengawalan dan pengawasan yang ketat.
0 komentar:
Posting Komentar