Senin, 30 Mei 2011

Penyakit Infectious Laryngotracheitis (ILT) pada Unggas

Pada awal kejadian penyakit, bulu secara mendadak rontok yang berlangsung selama 1-3 hari. Ayam ngorok, batuk dan bernapas dengan susah payah sehingga leher sebentar-bentar dijulurkan. Berdasarkan pengalaman saya penyakit ini biasanya berlarut-larut. Kadang ayam kecil bisa juga terinfeksi jika belum di vaksin dan ada layer yang baru divaksin sedang sakit karena pos vaksinasinya yang dekat jaraknya.

Penyakit ini berjalan sangat cepat, masa inkubasi 6-10 hari. angka kematian 5-70 %, biasanya berkisar antara 10-20% dengan angka kesakitan bisa mencapi 100%. yam yang terserang ILt ini dapat mati atau sembuh setelah 2 minggu. Pada layer produksinya dapat turun hingga 10-20 %, produksi akan kembali normal setelah 4 minggu.

ILT ini disebabkan oleh virus. Virus ini mudah mati oleh desinfektan dan sinar matahari langsung. Virus akan mati pada suhu 55 derajat celcius selama 10-15 menit dan suhu 38 derajat celcius selama 48 jam. Pada suhu 0 derajat celcius tahan hidup dan tetap infektif diluar induk semang. Jika virus terselubung di dalam lendir atau bangkai ayam tetap berbahaya untuk waktu yang panjang. ayam yang berhasil sembuh dari serangan ILT akan menjadi kebal dalam jangka waktu 1 tahun, sedangkan vaksinasi akan menimbulkan kekebalan dalam jangka waktu 2-12 bulan.


ILT disebabkan oleh Herpesvirus grup A termasuk famili Herpesviridae, subfamili Alphaherpesvirinae. Virus ILT tidak bertahan lama di luar tubuh ayam, tetapi ketahanan virus tersebut dalam tubuh ayam yang bertindak sebagai carrier merupakan faktor penting yang menyebabkan kasus ILT dapat ditularkan secara periodik dalam suatu peternakan.

Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung melalui kontak dengan ayam sakit atau secara tidak langsung melalui perlengkapan, pekerja, dan kendaraan yang tercemar virus ILT. Vaksin ILT aktif yang dilemahkan kerapkali merupakan sumber penularan penyakit ini.
Ayam yang sembuh dari infeksi virus ILT atau ayam yang divaksinasi dengan virus ILT aktif dapat mengalami infeksi laten atau menjadi carrier. Ayam yang kelihatan sehat dapat mengeluarkan virus secara periodik dalam jangka waktu yang lama.
Gejala klinik biasanya terlihat dalam 6-12 hari. Manifestasi klinik ILT dapat berbentuk berat ataupun ringan.
1. Bentuk Berat
Ayam yang sakit akan menunjukkan kesulitan bernapas disertai oleh suara ngorok yang serak, batuk, sumbatan pada trakea akibat adanya eksudat tertentu akan menyebabkan ayam bernapas dengan mulut terbuka sambil menjulurkan leher (seolah-olah dalam posisi memanggil). Pada sejumlah ayam dapat ditemukan adanya leleran kental bercampur darah dari hidung atau mulut dan kemerahan konjunctiva yang disertai adanya cairan yang berbusa pada mata. Lama penyakit ILT pada bentuk akut biasanya 7-14 hari. Kematian disebabkan oleh sumbatan pada trakea dan terjadi dalam 3-4 hari. Morbiditas mencapai 90%-100%, sedang mortalitas bervariasi dari 5%-70%.
2. Bentuk Ringan
Bentuk ini ditandai adanya kelesuan, mata berair, gangguan pernapasan yang ringan, konjungtiva kemerahan, kebengkakan sinus infraorbitalis, leleran dari hidung yang terus-menerus dan penurunan produksi telur. Bentuk ringan ini mempunyai morbiditas mortalitas rendah.
Pemberian antibiotik hanya bertujuan untuk mengobati infeksi sekunder karena bakteri. Disamping itu, perlu juga dilakukan rehabilitasi pada jaringan yang rusak dengan pemberian multivitamin. Sanitasi perlu ditingkatkan untuk mencegah meluasnya infeksi pada kandang.
Vaksinasi terhadap ILT dapat merangsang kekebalan pada kelompok ayam yang peka. Karena vaksinasi dapat menyebabkan timbulnya carrier, maka sebaiknya vaksinasi terhadap ILT hanya dilakukan pada daerah yang mengalami kasus ILT secara endemik.

Tetelo, Penyakit aneh pada ternak



Referensi.
 BEBERAPA BULAN terakhir, koran televisi memuat berita penyakit pada petelur yang mematikan ayam Tengah Jawa Timur. Menurut Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan, penyebab kematiannya dipastikan adalah virus newcastle disease (ND) atau tetelo. Saat ini wabah tersebut telah sampai ke Bali, tersebar di Tabanan dan Karangasem, juga dengan korban ribuan ekor. Hal yang sama juga terjadi di Jogjakarta, persisnya di Kulonprogo. Apakah penyebabnya tetelo ataukah Avian Influenza (AI)?  


BAHWA VIRUS penyakit yang ayam atau wabah telah ditemukan antara tentu tidak dapat dimungkiri karena diagnosis ditegakkan lewat pemeriksaan laboratorium canggih BPMSOH. Meski demikian, menyimak perangai (epidemiologi) lapangan makin meluas, masih perlu disidik lanjut jalan memeriksa lebih banyak sakit mati mengirimkan spesimen beberapa laboratorium.
Kecurigaan adanya peran virus lain dalam wabah ini muncul karena beberapa kelompok ayam yang terserang telah mempunyai kekebalan (HI antibody) cukup, berdasarkan pemeriksaan laboratorium.
Beberapa tenaga teknis peternakan di Bali dan Jawa Timur mensinyalir peran virus lain selain ND, antara lain virus influenza unggas atau avian influenza (AI), meskipun dugaan itu belum didukung pemeriksaan laboratorium.
Kemungkinan peranan virus selain ND dan AI, termasuk virus penyakit baru (new emerging disease), memang harus tetap dibuka sejauh didukung pengamatan lapangan dan peneguhan laboratorium.
Sementara beberapa laboratorium penyakit hewan: Balitvet (Bogor), BPPV Yogyakarta, dan BPPV Denpasar, masih menyidik penyebab wabah penyakit ayam, marilah mengenal sekilas penyakit tetelo dan influenza unggas (AI).
Tetelo?
Tetelo merupakan penyakit ayam yang sangat merugikan, pertama kali ditemukan oleh Kraneveld di Jakarta (1926). Setahun kemudian, virus tetelo ditemukan juga di Newcastle (Inggris). Sejak saat itu, penyakit ini dikenal sebagai newcastle disease (ND) dan ditemukan di berbagai penjuru dunia. Di India, penyakit ini dikenal dengan nama aanikhet. Virus ND termasuk dalam genus Rubulavirus, famili Paramyxoviridae.
Tidak semua virus ND yang ditemukan bersifat ganas. Beberapa di antaranya hanya bersifat ringan, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bibit vaksin untuk mencegah penyakit ND yang ganas.
Mengingat virus ND ada yang ringan dan ganas, ditentukan empat kelompok keganasan virus ND: velogenik (sangat ganas), mesogenik (sedang), lentogenik (ringan), dengan cara menghitung waktu kematian rata-rata (mean death time) pada telur berembrio yang ditulari virus ND.
Di luar kategori di atas, ditemukan virus ND avirulent (tidak menimbulkan gejala apa pun pada ayam).
Maka, kebanyakan vaksin aktif menggunakan virus ND lentogenik, sebagian kecil menggunakan galur mesogenik dan avirulent. Yang menarik, galur avirulent V4 yang ditemukan di Australia (1967) pernah diuji coba sebagai vaksin pada ayam kampung di Indonesia dan beberapa negara ASEAN dengan pemberian lewat makanan (per os).
Cara lain untuk menentukan keganasan virus ND adalah dengan menghitung indeks keganasan intra serebral (intracerebral pathogenecity index/ ICPI) dan indeks keganasan intra vena (intravenous pathogenicity index/IVPI), menggunakan ayam specific pathogen free (SPF).
Di Indonesia, berbagai jenis vaksin ND tersedia dalam jumlah cukup, baik yang diproduksi dalam negeri maupun impor. Para peternak ayam umumnya paham bahwa mereka harus memvaksinasi ayam secara teratur terhadap ND, di samping penyakit lain.
Satu hal yang masih jarang dilakukan peternak ayam adalah memantau hasil vaksinasi ND. Dengan mengirimkan sampel darah 2-3 minggu setelah vaksinasi ke laboratorium, peternak akan mengetahui apakah vaksinasi berhasil menimbulkan kekebalan atau belum. Kendala seperti rantai dingin pengiriman vaksin dapat mempengaruhi kualitas vaksin.
Laboratorium BPPV yang tersebar di tujuh tempat (Medan, Bukittinggi, Lampung, Yogyakarta, Denpasar, Banjarbaru, dan Makassar) di Indonesia mampu menguji tingkat kekebalan pascavaksinasi ND. Pengujian ini hanya memakan waktu beberapa jam, dengan biaya ringan pula. Sayang, keberadaan laboratorium di atas belum dimanfaatkan secara optimal oleh para peternak.
Meskipun ND dilaporkan dapat menular ke manusia, masyarakat tidak perlu khawatir karena umumnya hanya terjadi apabila tertular oleh virus dalam konsentrasi tinggi, seperti di laboratorium.
Gejala yang timbul akibat virus ND hanya berupa konjungtivitis ringan. Penulis, karena pernah beberapa tahun bekerja di laboratorium virologi, pernah mempunyai zat kebal ND dalam darah. Artinya, pernah tertular virus ND, namun tidak merasakan sakit.
Influenza unggas?
Seperti halnya virus ND, virus AI mempunyai banyak tingkat keganasan mulai dari yang sangat ganas (highly pathogenic avian influenza/HPAI) sampai yang ringan. Virus AI termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI yang menyerang unggas termasuk dalam tipe A virus influenza.
Ada dua struktur pada lapis permukaan virus AI, yakni haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase (N), yang ikut menentukan galur (strain) virus AI. Dari komponen H ditemukan 15 tipe (H1-15), sedangkan dari N ada 9 tipe (N1-9). Galur virus AI yang ganas umumnya dari komponen H5 atau H7.
Penentuan keganasan virus AI dilakukan dengan jalan menyuntikkan isolat virus AI pada ayam SPF. Di Amerika, virus AI digolongkan ganas apabila membunuh 75 persen atau lebih ayam yang ditulari, sedangkan di Eropa menggunakan IVPI, dinyatakan ganas apabila indeks di atas 1,2.
Salah satu unggas yang merupakan sumber penular virus AI adalah itik liar. Itik dapat membawa virus AI tanpa menderita sakit, tetapi virus tersebut dapat menimbulkan kematian pada ayam.
Gejala klinik ayam terserang virus AI antara lain berupa mati mendadak, pembengkakan kepala, keluar ingus, dan warna biru pada bagian tubuh yang sedikit bulunya. Gejala ini tidak dapat dipakai sebagai patokan diagnosis karena dapat keliru dengan penyakit lain. Penegakan diagnosis harus lewat isolasi dan identifikasi virus di laboratorium.
Teknik isolasi virus AI mirip dengan virus ND, yakni melalui inokulasi telur berembrio. Teknik ini telah dikuasai Laboratorium BPPV, Balitvet, ataupun BPMSOH. Kendala yang dihadapi laboratorium untuk identifikasi virus AI adalah mendapatkan serum positif AI, terutama serum yang monospesifik untuk menentukan subtipe virus AI.
Apabila tidak tersedia serum AI monospesifik, isolat virus dapat dikirim ke laboratorium rujukan yang ditunjuk oleh Office International des Epizooties (OIE), yakni Laboratorium Kesehatan Hewan di Geelong (Australia), Pusat Laboratorium Virologi di Weybridge (Inggris), Pusat Penyakit Hewan Nasional, Ames (Amerika), dan Universitas Giesen (Jerman). Sebagai anggota OIE, Indonesia tidak perlu ragu memanfaatkan fasilitas laboratorium rujukan yang ditunjuk.
Dari fakta bahwa tidak ditemukan orang yang bekerja di peternakan ayam yang terserang sakit semacam flu yang parah, bisa disimpulkan, penyakit ayam yang berkecamuk dewasa ini tidak menular ke manusia. Ini berbeda dengan virus flu burung dari subtipe H5N1 yang pernah menghebohkan Hongkong tahun 1999.
Untuk mengatasi wabah AI, para ahli cenderung melakukan stamping out (pemusnahan ayam pada peternakan terserang), dibandingkan dengan tindakan vaksinasi dengan vaksin aktif, karena vaksinasi dinilai dapat mengacaukan pengujian laboratorik. Secara terbatas, vaksin inaktif dipergunakan pada kalkun di Amerika.
Meskipun wabah penyakit ayam menelan korban cukup banyak, pemulihan populasi ayam dapat dicapai dalam tempo relatif cepat setelah penyakit yang mematikan itu dapat diatasi.

Penyakit Gumboro, disebut juga Infectious Bursa!



Penyakit Gumboro, disebut juga Infectious Bursa! Disease. Pertama kali ditemukan dan dilaporkan pada tahun 1957, oleh Dr. Cosgrove di daerah Gumboro, Deleware, Amerika Serikat.
Penyebab penyakit:
Penyebab penyakit Gumboro, adalah virus yang agen penyakitnya sering disebut dengan nama Infectious Bursal Agent (IBA). Virus ini sangat infectious dan contagious, serta mampu bertahan hidup selama 16 minggu setelah penyakit dimusnahkan.
Ciri virusnya sendiri sampai kini masih belum disepakati para pakar kesehatan ternak. Beberapa peneliti mengklasifikasikannya sebagai reoviris, picorna virus atau diploma virus. Penyakit Gumboro mudah sekali menyebar di dalam tubuh ayam. Ketahanan virus terhadap beberapa bahan kimia dan desinjektan sangat bervariasi. Beberapa sifat fisiknya menunjukkan bahwa virus Gumboro tetap tahan hidup pada temperatur 60°C, dan baru dapat mati pada temperatur 70°C. Selain itu virus ini juga masih tahan hidup di bawah titik beku.
Penularan penyakit:
Penyakit Gumboro sangat mudah menular. Penularan dan penyebarannya terutama dikarenakan adanya suatu peternakan yang terkena wabah. Akibat timbulnya wabah, maka penyakit ini akan mudah menyebar pada peternakan yang lain, bahkan pada generasi berikutnya pada peternakan yang sama. Terjadinya penularan ini dapat timbul karena kontak secara langsung antara ayam penderita dengan ayam yang sehat, litter yang tercemar virus Gumboro, atau lewat makanan yang terkontaminasi. Serangga juga dapat berperan dalam penyebaran penyakit ini.
Sampai saat ini penyakit Gumboro hanya ditemukan pada ayam. Penyakit ini begitu ganas dan cepat menyebar/menular sehingga dalam waktu 2-3 hari saja seluruh ayam di peternakan akan sudah tertular.
Penyakit Gumboro menyerang bursa Fabricius dan thymus, maka bila melihat adanya gejala penyakit ini harus segera dilakukan pemberantasan, sebab ayam yang tertular penyakit ini, tidak akan memiliki lagi kekebalan terhadap tantangan penyakit ayam yang lain.
Gejala klinis penyakit:
Gejala-gejala klinis ayam yang terserang penyakit Gumboro, diklasifikasikan menurut 2 bentuk dari infeksinya, yakni:
1) Penyakit Gumboro bentuk klasik, yang menyerang ayam usia 36 minggu. Gejala-gejala klinis yang khas adalah ayam tiba-tiba sakit dan gemetar serta bulunya berdiri. Kemudian ayam terlihat sangat lesu, lemah dan malas bergerak.
Tanda-tanda lainnya adalah terjadinya diare yang berwarna putih dan daerah sekitar kloaka kotor. Apabila penyakit cukup parah, terjadi kematian sekitar 20%-30%, meskipun daya serangnya 100%.
Bursa Fabricius membengkak menjadi 2-3 kali ukuran normal, dan enam hari setelah infeksi bursa yang membengkak mulai mengecil dan selanjutnya menjadi atropi.
Ginjal mengalami pembengkakan dengan warna putih keabuabuan, hati membesar dan terjadi perdarahan pada urat daging.
2) Penyakit Gumboro bentuk subklinis, yang menyerang ayam usia 1-21 hari. Penyakit Gumboro bentuk ini tidak disertai gejalagejala klinis. Namun penyakit bentuk ini mengakibatkan kerusakan total pada sistem kekebalan pada ayam. Kerusakan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan kembali. Selanjutnya ayam kehilangan kemampuan untuk membuat pertahanan tubuh, sehingga ayam lebih peka terserang penyakit lainnya. Penyakit Gumboro bentuk ini, juga menurunkan kemampuan ayam untuk membentuk kekebalan terhadap vaksinasi Newcastle Disease (ND), Mareks Disease (MD), dan Infectious Brochitis (IB).
Infeksi bentuk inipun awalnya menyebabkan Bursa Fabricius sedikit membesar, tapi kemudian mengecil dan menjadi atropi yang permanen. Bila infeksi terjadi sebelum ayam usia 3 minggu, kerusakan permanen tak dapat dicegah. Sedangkan bila infeksi terjadi setelah usia 3 minggu kerusakan hanya bersifat sementara dan sistem kekebalan tersebut dapat sembuh kembali setelah 2-3 minggu terinfeksi.
Pengendalian penyakit:
Mengingat penyakit Gumboro sangat ganas apabila sudah menyerang peternakan ayam, maka usaha pengendalian yang efektif adalah dengan vaksinasi.
1) Untuk peternakan pembibitan petelur, agar menghasilkan kekebalan asal induk yang tinggi, supaya menghasilkan kekebalan pada ayam yang diturunkan. Vaksinasi pertama dapat dilakukan pada ayam usia 12 minggu dengan vaksin aktif, dan kedua pada ayam usia 20 minggu dengan vaksin inaktif. Dengan demikian dapat diharapkan menghasilkan titer antibodi yang tinggi, merata dan bertahan lama serta memiliki kesanggupan menurunkan dengan kadar tinggi pula.
2) Untuk peternakan ayam petelur atau broiler, agar menghasilkan kekebalan yang tinggi. Vaksinasi dapat dilakukan pada saat ayam berusia 3-4 minggu dengan vaksin aktif
Kriteria untuk standar kualitas vaksin Gumboro yang cukup baik, adalah:
-Mempunyai kekebalan silang terhadap strain-strain virus Gumboro lain.
-Tidak merusak Bursa Fabricius pada anak ayam dan tidak menghambat kekebalan terhadap penyakit lain.
-Kualitas vaksin harus murni dan bebas dari pencemaran agen infeksi pathogen.
Pengobatan penyakit:
Pengobatan penyakit Gumboro yang menyerang ayam sampai sekarang belum ditemukan. Maka kandang peternakan ayam yang terkena wabah Gumboro harus dikosongkan secara total untuk sementara. Semua peralatan, alas kandang, sisa makanan yang mungkin sudah terkontaminasi harus segera dimusnahkan.

Benifiting poultry by EGG-adapted Gumboro vaccine


The deadly “Gumboro” disease of chicken is caused by a virus, which results into immuno-compromising in the birds and leading to great economic losses. The disease can now be controlled by a locally developed egg-adapted live as well as inactivated vaccines thus benefiting the country by saving the foreign exchange with regards to WTO scenario.

Livestock and poultry play a major role in the economy of Pakistan. Out of total deaths in poultry, 20% are due to infectious bursal disease (Gumboro) alone. The disease causes increased carcase condemnation rates. The infectious bursal disease commonly known as Gumboro is an acute, highly contagious viral infection of young chickens, which spreads very rapidly by contact with sick birds. The virus has a great affinity for the lymphoid tissue as its primary target. with special predilection for the bursa of Fabricious (BF), which is responsible for maturation of immune system of the birds. The economic importance of the disease is manifested in two ways i.e. direct and indirect losses. The direct losses are in the form of high mortality. Indirect losses are due to acquired immunodeficiency or immuno-suppression, impaired growth and poor performance. Furthermore, the increased use of antibiotics and chemicals to fight against opportunistic (secondary) infections is a major concern for human health. Gumboro virus is resistant to many disinfectants and environmental factors, and remains infectious for at least four months in the poultry house environment. Because of the resistant nature of Gumboro virus, once a poultry house becomes contaminated, the disease tends to recur in subsequent flocks.

The Gumboro virus does not affect humans: The immune system is that part of the body which fights infectious disease micro-organism by producing specialized cells, lymphocytes, which secret specialized large protein molecules, antibodies. These attack infectious micro-organisms preventing them from entering, multiplying and damaging parts or cells of the body. Early recruitment of the immune cells occurs in the Bursa of Fabricius and the Thymus. If the virus damages both of them in young chickens, then this organ will not be capable of programming sufficient numbers of lymphocytes. Thus, the chickens will experience reduced immune system capabilities (immunosuppression). The severity of the disease is directly related to the number of susceptible cells; therefore, the highest age susceptibility is between 3-6 weeks. Chickens infected with Gumboro virus shed the virus in their faeces thus contaminating the feed, water and poultry house litter. Other chickens in the house become infected by ingesting the virus and can easily be transmitted among the farms by people, equipment and vehicles.

The majority of field infections are sub-clinical which are economically more important. Diseased birds have poor body weight gain and high feed conversion ratios with high mortality and excessive reactions to respiratory vaccines. Clinical signs of disease include dehydration, trembling, ruffled feathers, vent pecking, and depression. On necropsy, the principle lesions are found in the bursa of Fabricius (BF).

Diagnosis of IBD involves consideration of the flocks’ history, and of the clinical signs and lesions. Clinical signs alone are sometimes not sufficient to make a final diagnosis, but when combined with gross lesions, it is possible to arrive at a preliminary diagnosis. Confirmation of diagnosis should be accomplished by virus isolation or detection of viral antigens in tissues from suspected cases.

Keeping in view the current situation, the author adapted local Gumboro virus on chicken embryo for the preparation of an egg-adapted vaccine in the Biotechnology Laboratory, Department of Veterinary Microbiology, University of Agriculture, Faisalabad. Gumboro virus from field outbreaks was collected and purified from seven different areas of Pakistan. No differences were observed among all the different isolates collected from the Pakistani outbreaks in respect of polypeptide pattern, number and molecular weights but both differed from polypeptide maps of live commercial Gumboro vaccines.

Highest titre of antibodies against Gumboro disease virus as measured by indirect hemagglutination test was achieved in groups receiving locally prepared vaccine. Protection percentage was found maximum in groups receiving egg-adapted Gumboro vaccine prepared from local virus (98%).

In second part of the study, different adjuvants (chemical substances, which are supposed to enhance and prolong the vaccine performance) were used to prepare different egg-adapted Gumboro vaccines and protection level for each vaccine was assessed by challenge with virulent Gumboro virus. In another experiment the above mentioned an egg-adapted Gumboro vaccines were tried with liposomal and imuunostimulatory complexes (ISCOMs) as adjuvants by giving one or two shots of vaccines. Immune response was higher and protective with egg-adapted Gumboro vaccine prepared in positively charged form of liposomal vaccine and ISCOMs. It is concluded that vaccination with egg-adapted Gumboro vaccine prepared in liposome or ISCOMs adjuvants is the most suited way to immunize the birds against Gumboro virus. In present studies this combination proved safe and best for immunization of chicken without immunosuppression.

Strategi Pengendalian Gumboro


Untuk menghindari kerugian akibat kematian yang tinggi, pertumbuhan yang tidak optimal ataupun efek imunosupresif akibat kasus Gumboro, maka pencegahan kasus ini harus menjadi prioritas utama.
Penyakit Gumboro (Infectious Bursal Disease/IBD) yang ditemukan pertama kali di Delaware USA sekitar tahun 1950-an, sampai saat ini masih kerap muncul di lapangan. Sudah berbagai macam vaksin dicoba namun kejadian Gumboro masih tetap dijumpai. Terutama pada masa peralihan musim seperti sekarang ini, kasus lebih sering banyak muncul. Kondisi lingkungan dan cuaca yang cepat berubah meningkatkan cekaman pada anak ayam. Kejadian Gumboro biasanya pada ayam berumur 3-4 minggu. Namun di daerah yang tantangan virus lapangannya tinggi kasus bisa terjadi di minggu-minggu awal kehidupan ayam, yaitu kurang dari umur 2 minggu. Ayam yang pernah terserang virus IBD laju perkembangannya menjadi kurang optimal. Pencapaian berat badan terlambat dan FCR nya menjadi lebih tinggi. Selain itu ayam menjadi lebih rentan terhadap agen penyakit infeksius.
Oleh sebab itu, meminimalisir dan mengeliminasi faktor pencetus munculnya penyakit ini di lapangan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sebenarnya bukan semata-mata menjadi tanggungjawab peternak di tingkat komersial (pedaging ataupun pullet), namun pembibit dan feedmil seharusnya juga mempunyai andil yang tidak kalah penting. Munculnya kasus Gumboro dipicu oleh beberapa hal yang saling berkaitan diantaranya yaitu, kualitas DOC, kualitas pakan, manajemen pemeliharaan, program kesehatan dan vaksinasi, dan biosekuriti.
Kualitas DOC
Peternak komersial tidak mempunyai kendali pada kualitas DOC yang dibelinya. Mereka hanya bisa memilih mana yang dianggap baik ataupun tidak, berdasarkan pengalaman sendiri dan referensi dari peternak lain. Kalau kebetulan pembibit yang sudah diyakininya mempunyai konsistensi dan komitmen tinggi dalam menjaga mutu produknya beruntunglah peternak, karena salah satu beban untuk eliminasi kasus Gumboro sudah berkurang.
DOC yang berkualitas baik merupakan hasil dari suatu proses panjang di tingkat pembibit. Ditentukan dari saat masih berupa telur di dalam tubuh induk, proses koleksi telur tetas, penetasan hingga sampai di tangan peternak komersial. Ayam pembibit yang sehat dengan pakan yang mengandung nutrisi seimbang dan bebas dari mikotoksin, mempunyai program vaksinasi yang ketat, lingkungan kandang yang bersih, serta proses koleksi, penyortiran telur yang akan masuk ke hatchery secara ketat akan menghasilkan DOC yang berkualitas. Dan dibarengi dengan manajemen transportasi yang baik dari hatchery hinggá sampai ke tangan peternak akan menjamin kualitas DOC tersebut.
Maternal antibodi yang tinggi didapat dari induk yang sehat dan divaksin secara teratur dan berkesinambungan. Vaksinasi IBD pada induk biasanya dilakukan sebelum masa produksi dan diulang lagi pada umur 40-45 minggu, dimana pada saat ini biasanya titer antibodi induk sudah menurun. Vaksinasi ulangan ini dilakukan untuk menjaga agar antibodi yang diturunkan ke anak ayam tetap tinggi. Maternal antibodi yang tinggi akan melindungi anak ayam dari infeksi agen penyakit pada minggu pertama kehidupannya (2-3 minggu pertama).
Untuk mendapatkan DOC yang sehat seperti di atas didapat dari telur tetas yang beratnya sudah memenuhi syarat untuk ditetaskan dan berasal dari induk yang tidak terlalu tua ataupun muda, telur tetas bersih, utuh tidak retak ataupun cacat dengan lingkungan kandang yang bersih dan proses penetasan yang baik dan benar. Jika lingkungan kotor dan telur yang ditetaskan pun demikian dikuatirkan embrio juga akan tercemar bakteri seperti E.coli, Pseudomonas, Staphylococcus, dll yang bisa menyebabkan peradangan pada kantong kuning telur (omfalitis).
Kondisi ini akan menyebabkan gangguan proses penyerapan kuning telur yang notabene merupakan sumber makanan di awal kehidupan ayam dan juga maternal antibodi yang diturunkan dari induknya. Atau bisa juga telur tercemar spora jamur Aspergillus, sp, sehingga anak ayam bisa terkena Aspergillosis sejak masih embrio.
Transportasi DOC dari hatchery ke farm juga akan mempengaruhi pertumbuhan DOC tersebut. Kondisi mobil pengangkut harus memenuhi stándar yang ditetapkan. Temperatur dan ventilasi ruangan harus diperhatikan agar anak ayam tidak mendapat stress yang berlebihan dam kecukupan oksigennya terpenuhi.
kualitas pakan
Pakan merupakan komponen pokok yang mengambil porsi terbesar dari biaya produksi suatu usaha peternakan. Kualitasnya pakan ditentukan oleh kualitas bahan baku yang menyusunnya. Dalam manajemen pakan hal yang harus diwaspadai adalah keseimbangan nutrisi dan kadar mikotoksin yang mencemarinya. Kandungan protein tercerna yang sesuai dengan kebutuhan ayam dengan komposisi asam amino yang seimbang, demikian juga dengan kadar lemak, energi, serat kasar dan mineral yang imbang sangat penting untuk pertumbuhan ayam.
Kadar mikotoksin dalam pakan harus diperhatikan, karena akan berpengaruh pada sistem imunitas dan pertumbuhan tubuh ayam. Pada saat musim hujan kita perlu waspada dengan mikotoksin ini. Di musim kemaraupun kadang kadar mikotoksin juga masih tinggi. Tingginya kadar mikotoksin berkaitan dengan proses pemanenan, pengeringan dan penyimpanan bahan baku, terutama yang berasal dari biji-bijian. Untuk meminimalisir jumlah mikotoksin perlu pencegahan tumbuhnya jamur dan pembentukan metabolitnya.
Salah satu caranya dengan pengeringan hinggá mencapai kadar air yang rendah, penyimpanan pada ruangan yang kering, penambahan antijamur (asam organik), dan mikotoksin binder (zeolit, bentonit, dll.). Proses penyimpanan dan pengangkutan bahan baku atau pakan jadi jika tidak memenuhi stándar juga akan mempengaruhi kualitas pakan. Indonesia merupakan negeri tropis dengan curah hujan tinggi, sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan jamur. Temperatur dan kelembaban gudang penyimpan tidak boleh terlalu tinggi, yang ideal disarankan pada suhu tidak lebih dari 240 C dan kelembaban < 17 %. Selain itu pemeriksaan sampel bahan baku dan pakan jadi harus dilakukan secara teratur untuk melihat komposisi nutrisi (analisa proksimat) maupun cemaran mikotoksin.
Manajemen pemeliharaan
Manajemen pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha produksi peternakan. Untuk mendapatkan hasil yang baik, yang paling utama adalah menciptakan kondisi dan tempat yang nyaman untuk hidup ayam. Jika ayam hidup di kandang yang nyaman, terjaga dari stres lingkungan, kebutuhan oksigen terpenuhi, cemaran gas amonia minimal, tersedia pakan yang berkualitas dan air minum yang bersih sepanjang hari, dan juga dengan pelaksanaan program vaksinasi terhadap berbagai agen infeksius yang tepat diharapkan ayam terhindar dari berbagai stres baik dari lingkungan makro ataupun agen penyakit yang ada. Dengan begitu ayam bisa tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan optimal.
Proses pemeliharaan yang baik dan benar harus dilakukan sejak kedatangan anak ayam, masa brooding dan kehidupan selanjutnya. Masa brooding merupakan waktu yang cukup krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan ayam, sehingga harus dilakukan dengan benar. Populasi dalam satu lingkaran brooder harus diperhatikan, 1 pemanas maksimal untuk 1000 ekor DOC. Jika populasi terlalu padat tingkat stress dan daya kompetisi ayam semakin tinggi dan kecukupan oksigen pun akan berkurang. Untuk mempertahankan suhu badan anak ayam kehangatan ruangan sangat penting karena ayam tidak dierami oleh induknya dan dan pusat pengatur suhu tubuh ayam belum berkembang sempurna. Selain itu buka tutup tirai harus diatur sedemikian rupa sehingga kesegaran udara dan kecukupan oksigen terpenuhi, selain itu juga untuk menghindari paparan angin yang terlalu dini.
Pada minggu pertama merupakan masa pertumbuhan ayam yang paling cepat. Berat badan ayam bisa mencapai 2 kali lipat dari saat menetasnya. Bisa dikatakan saat ini merupakan golden age ayam. Pada masa ini terjadi pembelahan sel cukup tinggi, sehingga kecukupan oksigen dan nutrisi sangat penting. Saat ini juga terjadi penyerapan kuning telur yang di dalamnya terdapat antibodi dari induk. Pemberian pakan sesegera mungkin setelah anak ayam datang akan mempercepat dan mengoptimalkan penyerapan kuning telur. Jika pada masa brooding kehidupan ayam terjaga dengan baik, diharapkan penyerapan antibodi induk terhadap IBD yang ada dalam kuning telur bisa sempurna. Sehingga ayam bisa mengatasi infeksi IBD dini yang bersifat subklinis. Selain itu juga meminimalkan faktor pencetus stres pada ayam seperti menjaga kecukupan pakan, minum, kecukupan sirkulasi udara, pencahayaan dan ketenangan lingkungan.
Program Kesehatan
Kasus Gumboro bisa terjadi jika kekebalan ayam tidak bisa mengatasi serbuan virus lapangan yang masuk ke tubuh ayam dan virus lapangan lebih cepat sampai di bursa dibanding virus vaksin yang diberikan. Hal ini bisa terjadi karena kondisi ayam yang tidak optimal karena stres (manajemen, lingkungan), titer antibodi induk yang rendah, jumlah virus lapangan yang terlalu banyak, strain virus vaksin yang dipakai tidak cocok dengan virus yang ada di lapangan, dan waktu pemberian vaksin yang tidak tepat.
Meminimalisir faktor pencetus stres bagi ayam sangat penting terutama pada awal kehidupan ayam. Jika ayam menderita cekaman baik karena faktor internal ataupun eksternal bisa mengakibatkan daya tahan tubuh ayam menurun. Sehingga agen-agen patogen bisa mudah menginvasi tubuh ayam. Jumlah virus di lapangan yang tinggi akan meningkatkan resiko terkena Gumboro. Antibodi induk ayam hanya bisa melindungi sampai umur sekitar 2-3 minggu, dan daya netralitasnya pun terbatas, jika agen infeksi yang harus dinetralkan terlalu banyak, jumlah antibodi tidak bisa mencukupi sehingga ayam akan kalah juga.
Untuk mengurangi kerja ayam dalam menetralkan antigen, meminimalkan jumlah virus di lapangan sangatlah penting. Ini dilakukan dengan persiapan kandang yang benar-benar baik sebelum kedatangan ayam. Sebelum dipakai kandang harus dicuci kering dan basah sampai bersih, kemudian dilakukan desinfeksi berulang. Lantai kandang juga harus diperlakukan khusus, setelah dicuci bersih diberi larutan soda api kemudian dicuci ulang. Setelah itu diberi larutan kapur hidup. Penyemprotan insektisida ke lantai, langit-langit, tiang, dinding dan sekitar kandang perlu dilakukan untuk membunuh serangga seperti semut, kumbang franky (Altophobius, sp) dll yang bisa menjadi reservoir virus IBD. Penyemprotan kandang secara rutin setelah ayam masuk kandang dengan larutan desinfektan (seperti golongan iodin) akan sangat membantu meminimalisir jumlah virus.
Pemberian antibiotika berspektrum luas selama 3-5 hari pertama kehidupan anak ayam akan membantu mengeliminasi bakteri yang ada pada anak ayam, diharapkan akan mengurangi kasus radang omfalitis sehingga penyerapan kuning telur bis optimal. Selain itu dengan memperkuat kondisi tubuh anak ayam dengan pemberian multivitamin secara rutin akan membantu mengurangi pengaruh cekaman pada anak ayam .
Pencegahan koksidiosis dengan vaksinasi ataupun pemberian koksidiostat diharapkan bisa meminimalisir kejadian koksidiosis pada ayam dan diharapkan secara tidak langsung akan mengurangi kejadian Gumboro ataupun menurunkan tingkat keparahan koksidiosis. Jika ayam terkena koksidiosis pada minggu-minggu awal biasanya resiko terkena Gumboro lebih besar dan parah.
Biosekuriti
Biosekuriti merupakan suatu usaha pengamanan biologik yang bertujuan untuk mencegah masuknya agen-agen patologik ke tubuh ayam. Tidak hanya meliputi proses desinfeksi kandang dan lingkungan, namun merupakan suatu usaha yang terpadu dan berkesinambungan dari tingkat konseptual, struktural dan operasional. Meliputi tata letak, lokasi farm dan kandang, bangunan kandang, pemagaran serta bangunan pendukung seperti kantor, mess karyawan, gudang pakan atau telur, ruang ganti baju, car dip. Juga pola replacement yang all in all out.
Lokasi farm yang tidak berdekatan dengan farm tetangga, hanya terdapat satu macam spesies unggas saja di lokasi, adanya pagar sekeliling farm yang memisahkan farm dengan lingkungan sekitar, dan pola pemeliharaan all in all out, akan mengurangi resiko munculnya kasus penyakit infeksius.
Ketepatan pemilihan vaksin
Pemilihan vaksin yang cocok dengan virus di lapangan sangat penting. Pada saat ini ada banyak macam jenis vaksin yang dijual di pasaran. Dari yang bersifat mild sampai yang intermediate plus. Vaksin yang tergolong mild virusnya bisa menembus titer antibodi induk pada angka 125. Intermediate pada titer 250, sedangkan yang intermediate plus bisa menembus titer di angka 500-800. Berdasarkan grup molekulernya virus gumboro digolongan dalam 6 macam virus. Di Indonesia kebanyakan dari jenis group molekuler 3, 4 dan 5. Kita harus jeli dan pintar dalam memilih produk yang demikian banyaknya di pasar. Vaksin yang mahal tidak selalu menjamin bebas dari kebocoran vaksinasi. Kecocokan strain virus dengan lingkungan setempat harus diutamakan. Jika suatu jenis vaksin sudah cocok di farm kita lebih baik jangan diubah. Virus vaksin yang terlalu keras sebaiknya hindari diberikan terlalu dini, karena bisa merusak sel-sel limfoid di bursa.
Ketepatan Waktu Vaksinasi
Hal yang tak kalah penting untuk meminimalisir kebocoran vaksinasi adalah penentuan waktu yang tepat kapan sebaiknya vaksinasi dilakukan. Untuk dapat menentukan waktu vaksinasi yang tepat, pengukuran maternal antibodi (MAb) terhadap IBD mutlak harus dilakukan. Karena pembibit tidak pernah memberitahukan titer antibodi dari induknya. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan teknik ELISA. Dengan mengetahui status MAb nya kita dapat melihat tingkat keseragaman titer dan menghitung kecepatan penurunannya, sehingga dapat diperkirakan waktu yang tepat untuk vaksinasi. Vaksinasi yang dilakukan pada saat titer MAb masih tinggi tidak akan efektif, virus vaksin justru akan dinetralisir oleh antibodi sehingga virus tidak akan bisa multiplikasi dan pada akhirnya tidak akan muncul respon vaksinasi yang diharapkan. Dan bisa jadi jika ada virus lapangan yang bisa menembus kekebalan ayam, kejadian Gumboro akan muncul.
Kendala dalam penentuan waktu vaksinasi ini adalah ketidakseragaman MAb dari masing-masing individu. Hal ini terjadi karena DOC berasal dari individu induk yang berbeda-beda baik yang seumur atau bahkan berlainan umur. Oleh karena itu pada saat DOC masuk kita harus mencatat no batch yang biasa ada pada masing-masing box. Ayam yang berlainan no batch biasanya berbeda data induk dari telur tetasnya. Dan untuk masing-masing no batch yang berbeda kita mengambil sample darahnya. Jumlah DOC yang kita ambil untuk sampel minimal 20 ekor. Dan satu hal yang harus kita perhatikan DOC yang kita ambil darahnya haruslah yang sehat bukan DOC yang performansnya jelek, agar titer yang didapat merupakan gambaran titer MAb sebagian besar ayam . Kalau kita ambil DOC yang jelek, bisa jadi gambaran titer yang kita dapat juga kurang bagus, dan itu bukan pencerminan dari kelompok ayam tersebut.
Untuk penghitungan prediksi waktu vaksinasi biasanya digunakan rumus van Deventer. Rumus ini dapat dipakai baik untuk ayam pedaging, petelur maupun pembibit. Hal yang harus diketahui adalah waktu paruh MAb IBD berbeda untuk setiap tipe ayam, untuk ayam pedaging 3-3,5 hari, ayam petelur 5-5,5 hari, pembibit 4,5 hari. Selain itu kita juga harus tahu jenis vaksin IBD yang akan digunakan, apakah mild, intermediate ataupun intermediate plus, karena ini untuk mengetahui break through titer (angka titer di mana virus vaksin bisa menembus MAb ayam) dari virus vaksin. Jika menggunakan vaksin yang mild break through titer nya sekitar 125, intermediate plus sekitar 500 dan yang hot di titer 1000.
Cara penghitungan prediksi waktu vaksinasi :
Hari vaksinasi = T1/2 x ( Log2 titer – Log2 target titer)) + umur saat sampling + angka koreksi
T1/2 : waktu paruh MAb (broiler : 3 hari, layer: 5, breeder: 4,5 hari)
Titer: titer MAb (jika CV bagus vaksinasi bisa sekali untuk perlindungan 75 %, namun jika CV jelek vaksin 2 kali untuk perlindungan di 20 %dan 70 % atau 40 dan 90 %)
Titer target: titer MAb di mana virus vaksin bisa menembusnya ( mild: 125, intermediate plus: 500, hot: 1000) tergantung pada spesifikasi masing-masing produk vaksin
Umur sampling: Umur pada saat pengambilan darah
Angka koreksi: tambahan hari jika sampling dilakukan pada umur ayam 0-4 hari (diasumsikan pada 4 hari pertama kehidupan ayam belum terjadi penurunan MAb karena masih adanya penyerapan kuning telur, jika sampling umur 1 hari koreksinya 3, umur 2 hari koreksinya 2, 3 hari koreksinya 1 dan umur 4 hari koreksinya 0).
Kasus Gumboro tidak bisa kita anggap enteng dan sepele, baik berat ataupun ringan akan merugikan farm kita, namun kebocoran vaksinasi tersebut masih bisa kita minimalisir. Tentunya dengan eliminasi faktor-faktor pencetus, sikap disiplin dan konsistensi dalam penerapan manajemen pemeliharaan seperti persiapan kandang yang baik, pemilihan DOC yang berkualitas, menjalankan manajemen pemeliharaan yang sesuai stándar, penerapan biosekuriti yang konsisten, pemilihan jenis vaksin dan waktu vaksinasi yang tepat diharapkan bisa menekan bahkan menghilangkan kasus IBD di farm kita, sehingga kerugian ekonomis akibat IBD bisa kita hindari.

Minggu, 29 Mei 2011

Contoh Sederhana Proposal Penyelamatan Sapi Betina Produktif





























PROPOSAL



PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN
Tahun 2011











SUB KEGIATAN PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF TAHUN 2011



KELOMPOK TANI TERNAK ”LESTARI”
DESA GEDAREN KECAMATAN JATINOM
KABUPATEN KLATEN
PROVINSI JAWA TENGAH
2011




KELOMPOK  TANI TERNAK ”LESTARI”
DESA GEDAREN KECAMATAN JATINOM KABUPATEN KLATEN



Klaten,   03 Januari 2011
Nomor
Lampiran
Perihal
:
:
:
         /MA/01/11
1 (satu) bundel
Bantuan Kegiatan Penyelamatan Sapi Betina Produktif Tahun 2011

Kepada Yth.
Direktur Jenderal Peternakan dan Keswan Kementerian Pertanian RI
di    
JAKARTA
Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini Ketua kelompok Tani Ternak “Lestari” Desa Gedaren Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten. Bersama ini kami mengajukan permohonan bantuan dana talangan penyelamatan sapi betina produktif dan sarana prasarana kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI di Jakarta sebesar Rp. 472.000.000 (Empat ratus tujuh puluh dua juta rupiah) pada Tahun Anggaran 2011.
Dana yang kami terima akan kami kelola sesuai petunjuk Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI dan Dinas Pertanian Kabupaten Klaten.
Besar harapan kami atas terkabulnya permohonan ini demi tercapainya program pencapaian swasembada daging sapi melalui penyelamatan sapi betina produktif di masyarakat dan peningkatan kesejahteraan anggota kelompok tani ternak.

Kepala Desa Gedaren




SUNARTO


Ketua Kelompok Tani Ternak




GUNAWAN
“Mengetahui”
An. Kepala Dinas
Kepala Bidang Peternakan



IR. SRIMURYANI DA, MSi
NIP. 19621003 198608 2 002

Petugas Teknis Peternakan
 Kecamatan Jatinom




BASUKI RAHMAD, A.Md
NIP. 19640708 200701 1 016






 
Tembusan disampaikan kepada :
  1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah;
  2. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Klaten;
  3. Arsip





LATAR BELAKANG
Kabupaten Klaten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah  65.556 Ha dimana areal pertanian mencakup 33.437 Ha  terbagi dalam 26 kecamatan dan  jumlah penduduk 1.296.987 jiwa. Wilayah Kabupaten Klaten terbagi dalam 3 dataran, yang terdiri dari : dataran lereng Gunung Merapi, dataran rendah dan dataran gunung berkapur.
Sektor pertanian diharapkan mampu menjadi pilar utama dalam mengujudkan Visi Kabupaten Klaten yang “TOTO TITI TENTREM KARTORAHARJO”. Pertanian dalam arti luas dan Sub sektor peternakan menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar masyarakat pedesaan. Jumlah populasi, produksi dan  produktifitas dalam skala rumah tangga serta masih rendahnya tingkat pengolahan dan pemasaran hasil produksi merupakan kondisi peternakan di Kabupaten Klaten.  
Tujuan pemeliharaan sapi di peternak rakyat bukan berdasarkan siklus produksi yang ada, sehingga sewaktu-waktu peternak membutuhkan uang tunai SBP yang dimiliki akan dijual. Sebagian besar sapi jantan dari daerah sumber bibit seperti NTT, NTB, Bali, Jatim, Jateng, DIY, Sulsel dan daerah lainnya dijual ke Surabaya, Jakarta, Jawa Barat dan Banten atau Kalimantan. Hal ini mengakibatkan rumah potong hewan (RPH) di wilayah sumber ternak ini kesulitan memperoleh sapi siap potong, sehingga banyak SBP dipotong untuk memenuhi kebutuhan daging penduduk setempat. Pelarangan pemotongan SBP dan pengantar-pulauan sapi bibit menyebabkan SBP tidak laku dijual sehingga harga SBP lebih rendah dibandingkan dengan sapi jantan. Kondisi ini menyebabkan pemotongan SBP di wilayah sumber bibit atau gudang ternak sangat besar, diperkirakan secara nasional telah mencapai sekitar 150-200 ribu ekor per tahun.
Pemotongan SBP sejak lama telah dilarang, dan berdasarkan UU No. 18/2009 dapat dikenakan sangsi administrasi (denda) maupun hukuman kurungan yang cukup berat. Namun sampai saat ini sangsi tersebut belum ditetapkan. Pemotongan SBP banyak dilakukan di RPH resmi secara terang-terangan atau dengan cara melukai ternak agar SBP tidak layak untuk dikembang-biakkan. Pemahaman dan kesadaran dari seluruh pemangku kepentingan masih sangat beragam, sehingga perlu tindakan konkrit yang lebih operasional.
Pengembangan SBP harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi lintas sub sektor maupun sektoral baik di tingkat pusat maupun daerah. Guna penyelamatan SBP perlu adanya lembaga keuangan yang mampu memberi kredit maupun dana talangan kepada peternak yang memerlukan uang dan akan menjual SBP. Penjaringan dilakukan sejak tahap awal di peternak dengan memberdayakan kelembagaan yang ada (kelompok ternak, koperasi) dan juga intensifikasi penyuluhan. Selain itu perlu dilakukan transmigrasi SBP sebagai calon bibit dari wilayah padat ke wilayah kurang ternak.





TUJUAN DAN SASARAN KEGIATAN
Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan penyelamatan sapi betina produktif melalui:
(1)   Penyelamatan sekaligus pengawasan dan pencegahan pemotongan sapi betina produktif secara efektif.
(2)   Terbinanya kelompok / unit usaha budidaya perbibitan dan penggemukan sapi potong secara efektif.
(3)   Terjaganya struktur populasi sapi betina produktif sehingga dapat menjamin kontinuitas peningkatan populasi yang optimal.
(4)   Meningkatkan produksi sapi potong dengan memenuhi permintaan daging yang kebutuhannya semakin meningkat.
(5)   Pemberdayaan masyarakat di bidang pengembangan usaha ternak sapi potong.
(6)   Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani peternak sapi.
(7)   Menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Desa.

MANFAAT KEGIATAN
            Manfaat dari kegiatan Penyelamatan Betina Produktif adalah :
(1)   Terselamatkannya sapi yang melahirkan kurang dari 5 (lima) kali atau berumur dibawah 8 (delapan) tahun, atau sapi betina yang berdasarkan hasil pemeriksaan reproduksi dokter hewan atau petugas teknis yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan dan dinyatakan memiliki organ reproduksi normal serta dapat berfungsi optimal sebagai sapi induk.
(2)   Terbinanya kelompok / unit usaha budidaya perbibitan dan penggemukan sapi potong secara efektif.
(3)   Terpenuhinya kebutuhan daging di masyarakat.
(4)   Memberikan kesempatan berusaha kepada masyarakat desa.
(5)   Meningkatkan pendapatan masyarakat desa khususnya anggota kelompok.

RENCANA KEGIATAN
Berdasarkan analisa potensi desa dan permasalahan yang dihadapi kelompok untuk pelaksanaan kegiatan penyelamatan betina produktif ini telah di bahas dalam musyawarah anggota kelompok dan dari musyawarah tersebut berhasil memutuskan beberapa kegiatan yang akan di laksanakan antara lain :
(1)   Rehabilitasi kandang sapi kelompok dan mempersiapkan peralatan-peralatan yang akan digunakan dalam pemeliharaan sapi;
(2)   Membeli sapi betina produktif yang disertai surat keterangan status kesehatan dan reproduksi;




(3)   Menyediakan stok sapi siap potong untuk pengganti sapi betina yang diselamatkan;
(4)   Memelihara / mengelola sapi betina secara optimal hingga terjadi kebuntingan dan terjamin sehat;
(5)   Menjual sapi betina produktif yang telah bunting 3-5 bulan dan sehat kepada pembeli baik kelompok, koperasi, swasta maupun masyarakat umum;
(6)   Uang hasil penjualan dikelola sebagai asset kelompok yang bersifat abadi dan selanjutnya digunakan untuk penyelamatan sapi betina produktif berikutnya;
(7)   Keuntungan dari hasil pemeliharaan dan penjualan sapi betina produktif bunting dibagi untuk kesejahteraan kelompok dengan sebagian dikembangkan untuk penambahan modal usaha;
(8)   Membuat laporan kegiatan (jumlah ternak yang dibeli, dijual/sebar, suplai sapi siap potong) setiap bulan yang disampaikan kepada Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di kabupaten/kota setempat;
(9)   Mengembangkan kerja sama dan usaha yang bergerak di bidang peternakan dalam rangka optimalisasi agribisnis berbasis ekonomi kerakyatan.

LOKASI KEGIATAN
Pelaksanaan kegiatan Penyelamatan Betina Produktif dialokasikan di Desa Gedaren , Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.

PEMBIAYAAN
Dalam rangka tercapainya kegiatan Penyelamatan Betina Produktif, berikut kami sampaikan kebutuhan serta alokasi dana yang diperlukan.
No
Kegiatan dan Jenis Belanja
Satuan
Harga Satuan (Rp)
Jumlah Harga (Rp)
A.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Belanja Barang
Pengadaan betina produktif
Pengadaan sapi bakalan
Perbaikan kandang
Obat-obatan dan IB
Pengolahan limbah ternak
Pengembangan HMT
Pakan Konsentrat
Alsin
Pemeriksaan kebuntingan
Administrasi kelompok

25 ekor
20 ekor
1 unit
1 paket
1 unit
1 paket
1 paket
1 unit
1 paket
1 paket

9.000.000
7.800.000
30.000.000
6.000.000
6.000.000
6.000.000
22.000.000
9.000.000
10.000.000
2.000.000

225.000.000
156.000.000
30.000.000
6.000.000
6.000.000
6.000.000
22.000.000
9.000.000
10.000.000
2.000.000

Jumlah



472.000.000
            Sumber dana dan pembiayaan diperoleh dari Bantuan pemerintah melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI dan Swadaya kelompok.




PELAKSANAAN KEGIATAN
            Sesuai hasil musyawarah kelompok, penanggung jawab pelaksana kegiatan sebagai berikut :
1.
2.

3.
Nama Kelompok
Sekretariat kelompok

Kegiatan rutin

:
:

:

Lestari
Desa Gedaren , Kecamatan Jatinom
Kabupaten Klaten
-   Pertemuan kelompok setiap malam minggu legi
-   Simpan pinjam

No
N a m a
Alamat
Jabatan dalam Kelompok
Keterangan
1
Gunawan
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Ketua

2
Haryono
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Sekretaris

3
Sumarjo
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Bendahara

4
Suwarno
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

5
Sugeng Purwanto
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

6
Waluyo
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

7
Suyahyo
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

8
Dayanto
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

9
Tunggal
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

10
Triyono
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

11
Warno Utomo
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

12
Dayani
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

13
Sumardi
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

14
Nyoto Ketrimo
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota

15
Susanto
Surobayan, Gedaren, Jatinom
Anggota












PENUTUP

Demikian proposal yang kami ajukan semoga menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan Bidang Pertanian Sub Sektor Peternakan di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.






Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Total Tayangan Halaman

Copyrights  © edna disnak 2012 and introducing Panasonic S30

Back to TOP