Kamis, 29 Desember 2011

Pengolahan Jerami Sebagai Pakan Ternak

JERAMI PADI DICAMPUR DENGAN UREA DAN STARBIO
Jerami yang akan dicampur harus ditimbang terlebih dulu.Jerami bisa dalam keadaan kering ataupun basah ( segar ). Untuk jerami kering, urea yang digunakan harus dilarutkan kedalam air terlebih dulu, setiap 100 kg jerami kering dibutuhkan 100 liter air sebagai pelarut urea.Sedang untuk jerami segar, urea tak perlu dilarutkan kedalam air.Bila jerami segar yang dipilih maka setiap 100 kg jerami di butuhkan 10 kg urea + 10 kg starbio untuk ditaburkan diatasnya( dengan kata lain 1 kg jerami dengan 1 ons urea + 1 ons starbio ).Cara mencampurnya yaitu jerami di buat berlapis-lapis, setiap lapisan tebalnya 10 cm, setelah lapisan pertama ditebarkan lalu di tumpuki lapisan kedua begitu seterusnya, kemudian tutup tumpukan tersebut dengan plastik agar terjadi fermentasi, hindarkan dari terik sinar matahari dan hujan. Tunggu 21 hari untuk diberikan hewan ternak. Pencampuran ini dimaksudkan untuk menghancurkan ikatan silika dan lignin pada selulosa jerami, sehingga mudah dicerna dan kaya akan nitrogen, tingkat daya cerna jerami dapat meningkat dari 30 % menjadi 52 %.

JERAMI PADI KERING DENGAN NaOH
Olahan jerami padi kering dilakukan dengan cara jerami dicuci dengan NaOH. Jerami padi sebanyak 1 kg disiram secara merata dengan larutan NaOH 30 gram + air 1 liter, kemudian selelah disiram tunggu minimal 6 jam agar silika hancur. Menuruat Ditjen peternakan bahwa seekor sapi bisa diberikan jerami olahan ini sebanyak 5 kg + hijauan segar 5 kg + 5 gr mineral campuran yang bisa dibeli di toko dan garam dapur dua sendok makan.

JERAMI PADI KERING DENGAN TETES
Jerami padi olahan ini dibuat dengan cara difermentasikan selama 24 jam, yaitu jerami dipotong-potong, kemudian dicampur air dan tetes dengan perbandingan 2 : 1. Untuk setiap 10 kg jerami kering dibutuhkan tetes 1,5 kg dan air 3 kg ( 3 liter ), ditambah super phospat 25 gram ( 1 sendok makan ) dan amonium sulfat 25 gram juga, tunggu 24 jam baru diberikan pada sapi.

Selamatkan Sapi Betina Produktif

sapi betina produktif
Sejak dua dekade terakhir ini, Indonesia mengimpor daging dan sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan impor telah mencapai lebih dari 30 persen dari total kebutuhan daging nasional. Ada tiga kemungkinan, mengapa Indonesia harus mengimpor, padahal pada era tahun 1970-an atau sebelumnya Indonesia justru merupakan eksportir sapi. Pertama, permintaan daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan produksi. Kedua, permintaan di dalam negeri meningkat tetapi produksi di dalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat seirama dengan perkembangan ekonomi, namun produksi daging di dalam negeri cenderung berkurang.
Dari ketiga kemungkinan tersebut hanya ada satu jawaban bila Indonesia ingin mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu meningkatkan populasi dan produktivitas sapi yang dibarengi dengan peningkatan bobot badan dari setiap ekor sapi yang akan dipotong. Peningkatan populasi dapat dilakukan bila jumlah sapi betina produktif semakin banyak. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir ini diduga populasi sapi betina produktif tidak bertambah dan justru dikhawatirkan semakin berkurang akibat pemotongan yang terjadi di beberapa wilayah sumber ternak.
Di salah satu RPH resmi dijumpai bahwa 95 persen sapi yang dipotong setiap harinya adalah betina, sebagian besar adalah betina muda, dan di antaranya adalah sapi betina dalam kondisi bunting. Secara nasional, diperkirakan sekitar 150-200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya. Jumlah ini sangat besar dan patut diduga akan mengganggu populasi dan produksi daging yang berasal dari sapi lokal.
Pemotongan Sapi Betina Produktif sejak jaman Hindia Belanda telah dilarang. Pelarangan tersebut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun larangan tersebut tidak dikenai sanksi, sehingga implementasinya di lapang tidak efektif. Selanjutnya, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Juni 2009, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif. Orang yang melanggar larangan ini diancam Sanksi Administratif berupa denda sedikitnya Rp. 5 juta, dan Ketentuan Pidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan (Pasal 85 dan Pasal 86). Akan tetapi kenyataan di lapang menunjukkan bahwa pemotongan sapi betina produktif masih banyak terjadi, dan sulit dikendalikan.
Mengapa dipotong
Pemotongan Sapi Betina Produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Jagal, sebagai satu-satunya pelaku pemotongan sapi betina produktif, mempunyai alasan utama yaitu mencari keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Di samping itu jagal juga mempunyai banyak pertimbangan mengapa melakukan pemotongan sapi betina produktif, yaitu:
  • (i) sulit mencari sapi kecil untuk dipotong,
  • (ii) di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa ke kota besar,
  • (iii) harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang sama,
  • (iv) pengawasan dari petugas sangat lemah,
  • (v) tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham bila hal tersebut melanggar undang-undang, serta
  • (vi) peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila memerlukan uang cash.
Alasan utama dari jagal adalah mencari keuntungan. Artinya, bila pemotongan sapi betina tidak memberi keuntungan finansial secara nyata, jagal secara sukarela tidak akan pernah memotongnya. Oleh karena itu, semua upaya dan kebijakan untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pisau jagal adalah membuat kondisi agar harga sapi betina produktif menjadi sama atau sedikit lebih mahal dibandingkan sapi jantan. Persentase karkas dan kualitas daging sapi betina biasanya lebih rendah dibanding sapi jantan. Namun karena harganya lebih murah, jagal tetap memperoleh keuntungan yang layak. Biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH ‘resmi” atau liar. Namun, tidak jarang dapat dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta.
Perlu Kebijakan
Pelarangan Pemotongan Sapi Betina Produktif sudah sangat jelas dan tegas, namun sebagian besar pengemban kepentingan belum sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 – 1.000.000/ekor. Ketentuan pelarangan tersebut yang dibarengi dengan pembatasan pengeluaran ternak betina ternyata justru lebih menekan harga sapi. Sementara itu hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar pulau, sehingga jagal tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong sapi betina produktif. Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah dianggap sebagai hal yang lumrah.
Kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya, yaitu pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak akan menjual apa saja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu pengembangan ternak lain seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah perlu untuk cadangan bila peternak memerlukan uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu, pengembangan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro di tingkat pedesaan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang cash dalam jumlah yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah penjualan sapi betina produktif.
Pemotongan sapi betina produktif di beberapa wilayah sumber bibit seperti di Kupang-NTT, dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Menteri Pertanian dan Perwakilan Komisi IV DPR-RI secara langsung telah menyaksikan kejadian ini. Di lain pihak, pengeluaran sapi betina produktif dilarang untuk mencegah terjadinya pengurasan. Seandainya sapi-sapi betina yang saat ini dipotong di RPH diperbolehkan untuk diantar pulaukan, maka dapat diperkirakan harga sapi betina produktif akan meningkat dan jagal tidak akan memotongnya. Perubahan kebijakan ini tentunya harus dibarengi dengan penyediaan sapi jantan bagi jagal lokal, serta pengaturan kuota pengeluaran sapi jantan maupun sapi betina dengan lebih cermat. Untuk menghambat pemotongan sapi di kawasan ini juga diperlukan dukungan kebijakan dan program lain untuk pengembangan ternak selain sapi, sebagai substitusi untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat setempat.
Lemahnya pengawasan oleh petugas serta inkonsistensinya dalam penegakkan peraturan merupakan salah satu penyebab tingginya kejadian pemotongan sapi betina produktif di Indonesia. Selain itu kebijakan untuk meningkatkan PAD dari setiap RPH juga menjadi alasan petugas untuk melakukan pembiaran pemotongan sapi betina produktif. Oleh karena itu kebijakan dalam penetapan retribusi untuk pemotongan ternak di setiap RPH dapat dimanfaatkan sebagai instrumen dalam pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
Pemotongan Sapi Betina Produktif dapat dihambat bila kesadaran seluruh pemangku kepentingan mulai dari peternak, pedagang, jagal, konsumen sampai pada petugas dapat ditingkatkan. Instrumen berupa undang-undang sudah ada, namun ternyata sampai saat ini masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu perlu ada upaya tambahan yaitu dengan melakukan pendekatan secara etika, budaya dan agama. Sosialisasi tentang hal ini mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, ilmuwan dan politisi melalui pendekatan sosial budaya, bukan hanya melalui pendekatan teknis, ekonomi dan hukum. Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif dengan demikian harus dilakukan dengan berbagai pendekatan baik yang bersifat teknis ekonomis maupun sosial budaya. Kebijakan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik, dan untuk setiap wilayah perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada.
Untuk wilayah gudang ternak diperlukan kebijakan untuk mengeluarkan sapi betina produktif secara terkendali (terbatas), sementara untuk wilayah kosong ternak harus ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal untuk dikembangbiakkan yang berasal dari wilayah padat ternak. Untuk merealisir kebijakan ini diperlukan dukungan dana dan kelembagaan yang memadai, serta dibarengi dengan pengawalan dan pengawasan yang ketat.

Kamis, 24 November 2011

Cara Budidaya Ternak Itik

BUDIDAYA TERNAK ITIK
( Anas spp. )

1.    SEJARAH SINGKAT
       Itik dikenal juga dengan istilah Bebek (bhs.Jawa). Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild mallard. Terus menerus dijinakkan oleh manusia hingga jadilah itik yang diperlihara sekarang yang disebut Anas domesticus (ternak itik).

2.    SENTRA PETERNAKAN
       Secara internasional ternak itik terpusat di negara-negara Amerika utara, Amerika Selatan, Asia, Filipina, Malaysia, Inggris, Perancis (negara yang
mempunyai musim tropis dan subtropis). Sedangkan di Indonesia ternak itik terpusatkan di daerah pulau Jawa (Tegal, Brebes dan Mojosari), Kalimantan (Kecamatan Alabio, Kabupaten Amuntai) dan Bali serta Lombok.

3.    J E N I S
            Klasifikasi (penggolongan) itik, menurut tipenya dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1)  Itik petelur seperti Indian Runner, Khaki Campbell, Buff (Buff Orpington) dan CV 2000-INA;
2)  Itik pedaging seperti Peking, Rouen, Aylesbury, Muscovy, Cayuga;
3)  Itik ornamental (itik kesayangan/hobby) seperti East India, Call (Grey Call), Mandariun, Blue Swedish, Crested, Wood.
Jenis bibit unggul yang diternakkan, khususnya di Indonesia ialah jenis itik petelur seperti itik tegal, itik khaki campbell, itik alabio, itik mojosari, itik bali, itik CV 2000-INA dan itik-itik petelur unggul lainnya yang merupakan produk dari BPT (Balai Penelitian Ternak) Ciawi, Bogor.

4.    MANFAAT
1)    Untuk usaha ekonomi kerakyatan mandiri.
2)  Untuk mendapatkan telur itik konsumsi, daging, dan juga pembibitan ternak itik.
3)  Kotorannya bisa sebagai pupuk tanaman pangan/palawija.
4)  Sebagai pengisi kegiatan dimasa pensiun.
5)  Untuk mencerdaskan bangsa melalui penyediaan gizi masyarakat.

5.    PERSYARATAN LOKASI
       Mengenai lokasi kandang yang perlu diperhatikan adalah: letak lokasi lokasi jauh dari keramaian/pemukiman penduduk, mempunyai letak transportasi yang mudah dijangkau dari lokasi pemasaran dan kondisi lingkungan kandang mempunyai iklim yang kondusif bagi produksi ataupun produktivitas ternak. Itik serta kondisi lokasi tidak rawan penggusuran dalam beberapa periode produksi.

6.    PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
            Sebelum seorang peternak memulai usahanya, harus menyiapkan diri, terutama dalam hal pemahaman tentang pancausaha beternak yaitu (1).
Perkandangan; (2). Bibit Unggul; (3). Pakan Ternak; (4). Tata Laksana dan (5). Pemasaran Hasil Ternak.
6.1.      Penyiapan Sarana dan Peralatan
  1. Persyaratan temperatur kandang ± 39 derajat C.
  2. Kelembaban kandang berkisar antara 60-65%
  3. Penerangan kandang diberikan untuk memudahkan pengaturan kandang agar tata kandang sesuai dengan fungsi bagian-bagian kandang
  4. Model kandang ada 3 (tiga) jenis yaitu:
a.   kandang untuk anak itik (DOD) oada masa stater bisa disebut juga kandang box, dengan ukuran 1 m2 mampu menampung 50 ekor DOD
b.  kandang Brower (untuk itik remaja) disebut model kandang Ren/kandang kelompok dengan ukuran 16-100 ekor perkelompok
c.   kandang layar ( untuk itik masa bertelur) modelnya bisa berupa kandang baterei ( satu atau dua ekor dalam satu kotak) bisa juga berupa kandang lokasi ( kelompok) dengan ukuran setiap meter persegi 4-5 ekor itik dewasa ( masa bertelur atau untuk 30 ekor itik dewasa dengan ukuran kandang 3 x 2 meter).
  1. Kondisi kandang dan perlengkapannya
    Kondisi kandang tidak harus dari bahan yang mahal tetapi cukup sederhana asal tahan lama (kuat). Untuk perlengkapannya berupa tempat makan, tempat minum dan mungkin perelengkapan tambahan lain yang bermaksud positif dalam managemen
 6.2.      Pembibitan
Ternak itik yang dipelihara harus benar-benar merupakan ternak unggul yang telah diuji keunggulannya dalam memproduksi hasil ternak yang diharapkan.
1)         Pemilihan bibit dan calon induk
Pemilihan bibit ada 3 ( tiga) cara untuk memperoleh bibit itik yang baik adalah sebagai berikut :
a.   membeli telur tetas dari induk itik yang dijamin keunggulannya
b. memelihara induk itik yaitu pejantan + betina itik unggul untuk mendapatkan telur tetas kemudian meletakannya pada mentok, ayam atau mesin tetas
c. membeli DOD (Day Old Duck) dari pembibitan yang sudah dikenal mutunya maupun yang telah mendapat rekomendasi dari dinas peternakan setempat.Ciri DOD yang baik adalah tidak cacat (tidak sakit) dengan warna bulu kuning mengkilap.
 2)         Perawatan bibit dan calon induk
a.   Perawatan Bibit
Bibit (DOD) yang baru saja tiba dari pembibitan, hendaknya ditangani secara teknis agar tidak salah rawat. Adapun penanganannya sebagai berikut: bibit diterima dan ditempatkan pada kandang brooder (indukan) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam brooder adalah temperatur brooder diusahakan yang anak itik tersebar secara merata, kapasitas kandang brooder (box) untuk 1 m2 mampu menampung 50 ekor DOD, tempat pakan dan tempat minum sesuai dengan ketentuan yaitu jenis pakan itik fase stater dan minumannya perlu ditambah vitamin/mineral.
b.   Perawatan calon Induk
Calon induk itik ada dua macam yaitu induk untuk produksi telur konsumsi dan induk untuk produksi telur tetas. Perawatan keduanya sama saja, perbedaannya hanya pada induk untuk produksi telur tetas harus ada pejantan dengan perbandingan 1 jantan untuk 5 – 6 ekor betina.

3) Reproduksi dan Perkawinan
Reproduksi atau perkembangbiakan dimaksudkan untuk mendapatkan telur tetas yang fertil/terbuahi dengan baik oleh itik jantan. Sedangkan sistem perkawinan dikenal ada dua macam yaitu itik hand mating/pakan itik yang dibuat oleh manusia dan nature mating (perkawinan itik secara alami).
6.3.      Pemeliharaan
  1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
    Sanitasi kandang mutlak diperlukan dalam pemeliharaan itik dan tindakan preventif (pencegahan penyakit) perlu diperhatikan sejak dini untuk mewaspadai timbulnya penyakit.
  2. Pengontrol Penyakit
    Dilakukan setiap saat dan secara hati-hati serta menyeluruh. Cacat dan tangani secara serius bila ada tanda-tanda kurang sehat pada itik.
  3. Pemberian Pakan
    Pemberian pakan itik tersebut dalam tiga fase, yaitu fase stater (umur 0–8 minggu), fase grower (umur 8–18 minggu) dan fase layar (umur 18–27 minggu). Pakan ketiga fase tersebut berupa pakan jadi dari pabrik (secara praktisnya) dengan kode masing-masing fase.
    Cara memberi pakan tersebut terbagi dalam empat kelompok yaitu:
a.   umur 0-16 hari diberikan pada tempat pakan datar (tray feeder)
b.   umur 16-21 hari diberikan dengan tray feeder dan sebaran dilantai
c.   umur 21 hari samapai 18 minggu disebar dilantai.
d.   umur 18 minggu–72 minggu, ada dua cara yaitu 7 hari pertama secara pakan peralihan dengan memperhatikan permulaan produksi bertelur sampai produksi mencapai 5%. Setelah itu pemberian pakan itik secara ad libitum (terus menerus).
  1. Dalam hal pakan itik secara ad libitum, untuk menghemat pakan biaya baik tempat ransum sendiri yang biasa diranum dari bahan-bahan seperti jagung, bekatul, tepung ikan, tepung tulang, bungkil feed suplemen Pemberian minuman itik, berdasarkan pada umur itik juga yaitu :
a.   umur 0-7 hari, untuk 3 hari pertama iar minum ditambah vitamin dan mineral, tempatnya asam seperti untuk anak ayam.
b.   umur 7-28 hari, tempat minum dipinggir kandang dan air minum diberikan secara ad libitum (terus menerus)
c.   umur 28 hari-afkir, tempat minum berupa empat persegi panjang dengan ukuran 2 m x 15 cm dan tingginya 10 cm untuk 200-300 ekor. Tiap hari dibersihkan
6.           5. Pemeliharaan Kandang
Kandang hendaknya selalu dijaga kebersihannya dan daya gunanya agar produksi tidak terpengaruh dari kondisi kandang yang ada.

 7.    HAMA DAN PENYAKIT
            Secara garis besar penyakit itik dikelompokkan dalam dua hal yaitu:
1)  penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri dan protozoa
2)  penyakit yang disebabkan oleh defisiensi zat makanan dan tata laksana perkandangan yang kurang tepat

Adapun jenis penyakit yang biasa terjangkit pada itik adalah:
1.  Penyakit Duck Cholera
P
enyebab: bakteri Pasteurela avicida.
G
ejala: mencret, lumpuh, tinja kuning kehijauan.
P
engendalian: sanitasi kandang,pengobatan dengan suntikan penisilin pada urat daging dada dengan dosis sesuai label obat.
2.  Penyakit Salmonellosis
P
enyebab: bakteri typhimurium.Gejala: pernafasan sesak, mencret.
P
engendalian: sanitasi yang baik, pengobatan dengan furazolidone melalui pakan dengan konsentrasi 0,04% atau dengan sulfadimidin yang dicampur air minum, dosis disesuaikan dengan label obat.

8.    P A N E N
       8.1.           Hasil Utama
Hasil utama, usaha ternak itik petelur adalah telur itik
8.2. Hasil Tambahan
Hasil tambah berupa induk afkir, itik jantan sebagai ternak daging dan kotoran ternak sebagai pupuk tanam yang berharga

9.    PASCA PANEN
            Kegiatan pascapanen yang bias dilakukan adalah pengawetan. Dengan pengawetan maka nilai ekonomis telur itik akan lebih lama dibanding jika tidak dilakukan pengawetan. Telur yang tidak diberikan perlakuan pengawetan hanya dapat tahan selama 14 hari jika disimpan pada temperatur ruangan bahkan akan segera membusuk. Adapun perlakuan pengawetan terdiri dari 5 macam, yaitu:
a)  Pengawetan dengan air hangat
Pengawetan dengan air hangat merupakan pengawetan telur itik yang paling sederhana. Dengan cara ini telur dapat bertahan selama 20 hari.
b)  Pengawetan telur dengan daun jambu biji
Perendaman telur dengan daun jambu biji dapat mempertahankan mutu telur selama kurang lebih 1 bulan. Telur yang telah direndam akan berubah warna menjadi kecoklatan seperti telur pindang.
c)  Pengawetan telur dengan minyak kelapa
Pengawetan ini merupakan pengawetan yang praktis. Dengan cara ini warna kulit telur dan rasanya tidak berubah.
d)  Pengawetan telur dengan natrium silikat
Bahan pengawetan natrium silikat merupkan cairan kental, tidak berwarna, jernih, dan tidak berbau. Natirum silikat dapat menutupi pori kulit telur sehingga telur awet dan tahan lama hingga 1,5 bulan. Adapun caranya adalah dengan merendam telur dalam larutan natrium silikat10% selama satu bulan.
e)  Pengawetan telur dengan garam dapur
Garam direndam dalam larutan garam dapur (NaCl) dengan konsentrasi 25- 40% selama 3 minggu.

10.  ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN
            10.1.    Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis budidaya itik di Semarang tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1) Permodalan
a.  Modal kerja
- Anak itik siap telur um 6 bl 36 paketx500 ek x Rp 6.000
- Biaya kelancaran usaha dan lain-lain                             
Rp 108.000.000,-
Rp 4.000.000,-
b.  Modal Investasi
- Kebutuhan kandang 36 paket x Rp 500.000,-              
Rp 18.000.000,-
     Jumlah kebutuhan modal
Prasyaratan kredit yang dikehendaki:
- Bunga (menurun) 20% /tahun
- Masa tanggung angsuran 1 tahun
- Lama kredit 3 tahun                                                      Rp 130.000.000,-

2) Biaya-biaya
a.  Biaya kelancaran usaha dan lain-lain                            Rp 4.000.000,-
b.  Biaya tetap
- Biaya pengambalian kredit:
- Biaya pengambalian angsuran dan bunga tahun I
- Biaya pengambalian angsuran dan bunga tahun II
- Biaya pengambalian angsuran dan bunga tahun III
- Biaya penyusutan kandang:
- biaya penyusutan kandang tahun I
- biaya penyusutan kandang tahun II
- biaya penyusutan kandang tahun III                              

Rp 14.723.000,-

Rp 86.125.000,-
Rp 73.125.000,-

Rp 3.600.000,-

Rp 3.600.000,-
Rp 3.600.000,-

3) Biaya tidak tetap
a.  Biaya pembayaran ransum:
- biaya ransum tahun I
- biaya ransum tahun II
- biaya ransum tahun III                                                 
Rp 245.700.000,-
Rp 453.600.000,-
Rp 453.600.000,-
b.  Biaya pembayaran itik siap produksi:
- pembayaran tahun I
- pembayaran tahun II
- pembayaran tahun III                                                  
Rp 108.000.000,-
-
-
c.  Biaya pembayaran obat-obatan:
- biaya pembayaran obat-obatan tahun I
- biaya pembayaran obat-obatan tahun II
- biaya pembayaran obat-obatan tahun III
(Biaya obat-obatan adalah 1% dari biaya ransum)          
Rp 2.457.000,-
Rp 4.536.000,-
Rp 4.436.000,-

4) Pendapatan
a.  Penjualan telur tahun I                                                Rp 384.749.920,-
b.  Penjualan telur tahun II                                               Rp 615.600.000,-
c.  Penjualan telur tahun III                                              Rp 615.600.000,-
d.  Penjualan itik culling 2 x 1.425 x Rp 2.000,-               Rp 5.700.000,-

10.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Telur dan daging itik merupakan komoditi ekspor yang dapat memberikan keuntungan besar. Kebutuhan akan telur dan daging pasar internasional sangat besar dan masih tidak seimbang dari persediaan yang ada. Hal ini dapat dilihat bahwa baru dua negara Thailand dan Malaysia yang menjadi negara pengekspor terbesar. Hingga saat ini budidaya itik masih merupakan komoditi yang menjanji untuk dikembangkan secara intensif.

Rabu, 26 Oktober 2011

Susu Pasteurisasi dan Penerapan HACCP

Susu merupakan salah satu pangan yang tinggi kandungan gizinya, bila ditinjau dari kandungan protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin. Dalam memenuhi kebutuhan protein, terutama pada kasus penderita gizi buruk, susu merupakan pilihan pertama.  Sehingga ketersediaan susu perlu diperhatikan untuk memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Akan tetapi, susu juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Usaha memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan usaha meningkatkan kualitas dan keamanan produk susu, karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu pangan tidak akan ada artinya apabila pangan tersebut berbahaya bagi kesehatan. Untuk Indonesia, sebaiknya susu yang berkualitas dan cukup aman bagi konsumen memenuhi persyaratan yang tertuang dalam SNI susu segar (BSN, 1996) dan SNI pengujian susu segar (BSN, 1998a)
Tujuan pasteurisasi adalah menghilangkan mikroba patogen yang membahayakan kesehatan manusia tanpa merubah rasa, konsistensi dan kandungan nutrisi susu. Penerapan jaminan mutu seperti HACCP akan dapat menghasilkan susu pasteurisasi yang lebih bermutu dan lebih aman bagi konsumen. Sebaiknya HACCP perlu diterapkan pada proses pembuatan susu pasteurisasi, dan sebaiknya dimulai secara bertahap. Pasteurisasi merupakan salah satu usaha memperpanjang daya tahan susu, mencari bentuk lain dari susu segar, dan dapat juga ditambah dengan aroma tertentu serta dikemas dalam kemasan yang menarik. Pasteurisasi merupakan salah satu cara pengolahan susu dengan cara pemanasan untuk mempertahankan mutu dan keamanan susu. Susu pasteurisasi siap minum diminati oleh konsumen. Susu pasteurisasi merupakan bentuk lain dari susu segar dan merupakan salah satu cara untuk memperpanjang daya tahan susu segar (RENNIE, 1989). Jaminan kualitas dan keamanan pada susu pasteurisasi diharapkan akan dapat meningkatkan konsumsi susu secara umum, dan secara tak langsung akan mendorong upaya peningkatan produksi susu. Peningkatan konsumsi susu yang diharapkan adalah peningkatan konsumsi susu segar atau susu murni, bukan susu bubuk dalam kaleng.

Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi Dengan Transfer Embrio

Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah.
Penerapan teknologi transfer embrio (TE) atau alih janin merupakan alternatif untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi secara cepat. Teknologi TE pada sapi merupakan generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Pada prinsipnya teknik TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betina unggul dengan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil superovulasi ini akan dibuahi oleh spermatozoa unggul melalui teknik IB sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari ternak sapi donor, dikoleksi dan dievaluasi, kemudian ditransfer ke induk sapi resipien sampai terjadi kelahiran.
MANFAAT DAN KEUNGGULAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO
Teknologi IB telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1953 untuk meningkatkan populasi ternak sapi. Dalam usaha mempercepat peningkatan populasi dan mutu genetik sapi, maka perlu dicari metode lain yang lebih baik dan lebih cepat untuk mendukung tujuan penerapan teknologi IB. TE merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan dalam usaha meningkatkan mutu genetik dan populasi ternak sapi di Indonesia. Adapun manfaat teknologi transfer embrio adalah:
Meningkatkan mutu genetik ternak.
Mempercepat peningkatan populasi ternak.
Berpotensi mencegah berjangkitnya penyakit hewan menular yang ditularkan lewat saluran kelamin.
Mempercepat pengenalan material genetik baru lewat ekspor embrio beku.
Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan inseminasi buatan adalah:
1. Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan dengan teknologi TE,
sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul.
2. Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian genetik yang tinggi (purebred) dengan TE
jauh lebih cepat dibandingkan IB dan kawin alam.
3. Dengan teknik TE, seekor betina unggul mampu menghasilkan lebih dari 20 – 30 ekor pedet unggul per
tahun, sedangkan dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet per tahun.
4. Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan mentransfer setiap tanduk
uterus (cornua uteri) dengan satu embrio.
PROSEDUR PELAKSANAAN
Keberhasilan program TE dipengaruhi oleh kondisi sapi donor, sapi resipien, kualitas embrio yang dihasilkan dan pelaksanaan TE dari donor ke resipien.
1. Seleksi Sapi Donor dan Sapi Resipien
Sapi yang digunakan sebagai ternak donor harus mempunyai kriteria :
1. Memiliki genetik unggul
2. Memiliki kemampuan reproduksi
3. Keturunannya memiliki nilai pasar
Sapi yang digunakan untuk resipien sebaiknya mempunyai umur yang masih muda terutama sapi dara (belum pernah bunting). Sapi resipien tidak harus mempunyai mutu genetik yang baik dan berasal dari bangsa yang sama, tetapi harus mempunyai organ dan siklus reproduksi normal, tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan (distokia), sehat serta bebas dari infeksi saluran kelamin.
2. Super Ovulasi
Sapi merupakan ternak uniparous, dimana sel telur yang terovulasi setiap siklus berahi biasanya hanya satu buah. Dalam program TE, untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan meningkatkan perkem-bangan folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan pematangan folikel sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih banyak.
Hormon FSH mempunyai waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2 – 5 jam. Pemberian FSH dilakukan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari dengan dosis 28 – 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah berahi.
3. Penyerentakan Berahi
Penyerentakan berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormon prostaglandin F2a (PGF2a ) atau kombinasi hormon progesteron dengan PGF2a . Prosedur yang digunakan adalah :
1. Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikan PGF2a satu kali. Berahi
biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
2. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2a dilakukan dua kali selang waktu 11-12
hari.
Penyuntikan PGF2a pada ternak resipien harus dilakukan satu hari lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karena pada ternak donor yang telah diberi hormon gonadotropin, berahi biasanya lebih cepat yaitu 36 – 60 jam setelah penyuntikan PGF2a , sedangkan pada resipien berahi biasanya timbul 48 – 96 jam setelah penyuntikan PGF2a .
4. Inseminasi Buatan
IB yang baik dilaksanakan 6 sampai 24 jam setelah timbulnya berahi. Berahi pada sapi ditandai oleh alat kelamin luar (vagina)berwarna merah, bengkak dan keluarnya lendir jernih serta tingkah laku sapi yang menaiki sapi lain atau diam apabila dinaiki sapi lain. Pada program TE, IB dilakukan dengan dosis ganda dimana satu straw semen beku biasanya mengandung 30 juta spermatozoa unggul.
5. Koleksi dan Transfer embrio
Koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke 7 sampai 8 setelah berahi. Sebelum dilakukan panen embrio, bagian vulva dan vagina dibersihkan dan disterilkan dengan menggunakan kapas yang mengandung alkohol 70%. Koleksi embrio dilakukan dengan menggunakan foley kateter dua jalur 16-20G steril (tergantung ukuran serviks). Pembilasan dilakukan dengan memasukkan medium flushing Modified Dulbecco’s Phosphate Buffered Saline (M-PBS) yang telah dihangatkan di dalam water bath 37oC.
Embrio yang didapat dari pembilasan bisa langsung di transfer ke dalam sapi resipien atau dibekukan untuk disimpan dan di trasnfer pada waktu lain. Klasifikasi embrio yang didapat pada pembilasan didasarkan pada penampilan umum morphologis dengan kriteria :
1. Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang diantisipasi (morula, blastosis dini atau blastosis) tidak cacat,
bentuk bundar spherical, ikatan blastomer erat dan kompak, bentuk simetris dan warna agak gelap.
2. Kualitas embrio B (baik)
Stadium perkembangan 16-32 sel, tampak sedikit cacat seperti keluarnya salah satu blastomer dari
ikatan dan bentuk asimetris.
3. Kualitas embrio C (cukup)
Stadium perkembangan agak retarded satu sampai dua hari dari stadium yang diantisipasi (8-16 sel),
cacat, beberapa blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar atau asimetris.
4. Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak di transfer.
Embrio yang mengalami hambatan perkembangan parah (2-8 sel), embrio mengalami degenerasi seluler,
ikatan-ikatan blastomer longgar sampai lepas atau ovum yang tidak terbuah (infertlized ova)
6. Transfer Embrio
Pada umumnya terdapat dua metode TE yang digunakan yaitu metode pembedahan dan metode tanpa pembedahan. Metode pembedahan dilakukan dengan jalan membuatan sayatan di daerah perut (laparotomi) baik sayatan sisi (flank incici) atau sayatan pada garis tengah perut (midle incici). Metode tanpa pembedahan dilakukan dengan memasukkan embrio kedalamstraw kemudian ditransfer kedalam uterus resipien dengan menggunakan cassoue gun insemination.

Manajemen Reproduksi Sapi Potong

Keberhasilan usaha pembibitan sapi potong salah satunya ditentukan oleh keberhasilan reproduksi. Apabila pengelolaan reproduksi ternak dilakukan dengan tepat maka akan menghasilkan kinerja reproduksi yang baik yaitu peningkatan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet. Akan tetapi, masalah yang masih sering dijumpai pada usaha peternakan rakyat hingga saat ini adalah kinerja reproduksi yang masih rendah ditandai dengan masih terjadi kawin berulang (S/C > 2) dan rendahnya angka kebuntingan (CR 16 bulan) serta berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi dan pendapatan petani dari usahaternak. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja reproduksi ternak diperlukan manajemen reproduksi yang tepat antara lain :
1) pengamatan birahi dan waktu kawin,
2) pola perkawinan yang tepat,
3) deteksi kebuntingan, dan
4) penanganan kelahiran.
Melalui usahatersebut diharapkan jumlah kelahiran pedet dan jumlah induk yang berkualitas meningkat yang
akhirnya berdampak pada meningkatnya pendapatan petani dari usaha pembibitan sapi potong.
Pengamatan Birahi & Waktu Kawin
Pengamatan birahi dilakukan pada setiap ekor induk sapi. Pengamatan dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung. Gejala atau tanda-tanda sapi betina birahi adalah:
1) gelisah dan terlihat sangat tidak tenang,
2) sering melenguh-lenguh,
3) mencoba menaiki sapi lain dan akan tetap diam apabila dinaiki sapi lain,
4) pangkal ekornya terangkat sedikit dan keluar lendir jernih transparan yg mengalir melalui vagina dan vulva,
5) vulva membengkak dan berwarna kemerah-merahan, dan
6) sapi menjadi diam dan nafsu makan berkurang.
Birahi berlangsung sekitar 18 jam dengan siklus rata-rata 21 hari.  Pengamatan birahimerupakan faktor yang paling penting , karena jika gejala birahi telah terlihat maka waktu perkawinan yang tepat dapat ditentukan. Waktu yang paling tepat untuk mengawinkan ternak adalah sembilan jam sejak ternak menujukan tanda birahi.
Pola Perkawinan

Perkawinan pada sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun kawin suntik atau inseminasi buatan (IB). Perkawinan alami merupakan perkawinan dengan cara mempertemukan pejantan dan induk secara langsung. Pola perkawinan secara alami ini memiliki empat manajemen perkawinan, yaitu:
1) perkawinan model kandang individu,
2) perkawinan model kandang kelompok/umbaran,
3) perkawinan model ranch/paddock, dan
4) perkawinan model padang penggembalaan.
Perkawinan melalui kawin suntik atau inseminasi buatan (IB) dilakukan dengan cara memasukkan sperma atau semen yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu ke dalam saluran alat kelamin betina dengan metode dan alat khusus. Teknik IB dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan semen beku (frozen semen) dan semen cair (chilled semen).
Perkawinan dengan cara IB memiliki
beberapa keuntungan diantaranya yaitu:
a) menghindari penularan penyakit dari jantan ke betina,
b) sperma yg berasal dari pejantan dpt melayani banyak betina karena dapat diencerkan beberapa kali lipat,
c) mempermudah upaya persilangan antar ras,
d) mempercepat penyebaran bibit unggul,
e) pejantan yang tidak mampu mengawini dapat diambil spermanya, dan
f) memudahkan perkawinan ternak yang bertubuh kecil.
Deteksi Kebuntingan
Tanda-tanda umum terjadinya kebuntingan pada ternak adalah berahi berikutnya tidak timbul lagi, ternak lebih tenang, tidak suka dekat dengan pejantan, dan nafsu makan agak meningkat. Oleh karena itu, untuk mengetahui keberhasilan perkawinan perlu dilakukan pengamatan birahi lagi pada induk setelah 21 hari atau hari ke 18-23 dari perkawinan atau IB. siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan induk telah bunting.
Deteksi kebuntingan dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal setelah 60 hari sejak dikawinkan untuk meyakinkan bahwa ternak benar-benar bunting. Pemeriksaan palpasi rektal dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKB) yang ditunjuk Dinas setempat.
Kelahiran
Kebuntingan pada sapi terjadi selama 275-285 hari dengan rata-rata 280 hari. Induk yang akan melahirkan menunjukkan tandatanda seperti: vulva membengkak dan warna kemerahan, pinggul terasa lebih lentur, puting mulai membengkak dan sedikit meneteskan air susu, dan vulva akan mengeluarkan lendir saat mendekati kelahiran.
Beberapa persiapan yang perlu dilakukan apabila sapi memperlihatkan gejala-gejala akan melahirkan adalah:
a) pembersihan kandang untuk memudahkan pergerakan induk sebelum atau pada saat proses melahirkan,
b) lantai kandang diberi alas, berupa jerami padi kering sebagai alas agar cairan yang keluar selama proses kelahiran dapat terserap dengan cepat, dan
c) sediakan obat-obatan untuk mengantisipasi keadaan yang darurat.
Secara umum proses kelahiran akan terjadi maksimal 8jam, apabila melebihi waktu tersebut pedet belum juga keluar maka sebaiknya segera laporkan kepada Petugas Peternakan setempat.

Minggu, 16 Oktober 2011

FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN PADA SAPI


Pendahuluan
            Periode kebuntingan adalah periode dari bertemunya ovum (sel telur) dengan spermatozoa sampai partus (melahirkan) atau kelahiran individu muda. Selama periode ini sel-sel tunggal membelah dan berkembang menjadi organisasi yang lebih tinggi yaitu individu. Tingkat kematian pada periode ini, yaitu periode ovum, periode embrio, maupun fetus lebih tinggi dibanding setelah individu lahir. Keluarnya fetus  mati dan yang ukurannya dapat dikenali disebut abortus. Keluarnya fetus yang hidup dan pada waktunya disebut lahir. Lahirnya individu baru sebelum waktunya disebut prematur.
            Berdasarkan ukuran individu dan perkembangan jaringan serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga bagian yaitu  periode ovum / blastula, periode embrio / organogenesis dan periode fetus/ pertumbuhan fetus.

Tabel. Panjang badan fetus pada sapi dan sapi sesuai umur kebuntingan
      Kebuntingan

Sapi

Sapi
 (bulan)
(cm)
(cm)
---------------------------
-------------------------------
-------------------------------
1
0.8
09 - 1.0
2
6
4 – 7.5
3
15
10 – 14
4
28
15 – 25
5
40
25 – 34
                6
52
35 – 60
7
70
55 – 70
8
80
60 – 80
9
90
80 – 90
10

70 – 130
11

100 – 150
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

  Membrana Fetus dan Plasenta

1. Membran fetus

            Fungsi membran fetus adalah : melindungi fetus, sebagai sarana transport nutrisi dari induk ke fetus, sarana penampung sisa hasil metabolisme, tempat sintesa enzim dan hormone.  Membran atau selaput fetus terdiri dari : kantong kuning telur primitif, amnion,  alantois dan korion atau tropoblas
Amnion. Kantong amnion mengandung cairan amnion. Volume cairan amnion pada sapi : 2000-8000 . Sumber cairan amnion yaitu epitel amnion dan urine fetus (awalnya), air ludah dan sekresi nasopharynk.  Cairan ini membantu kelahiran karena licin seperti lendir
           Allantois. Kantong allantois berisi cairan allantois yang jernih seperti air, kekuningan dan mengandung albumin, fruktosa dan urea. Kantong allantoin : menyimpan zat buangan dari ginjal fetus. Volume cairan allantois akhir masa kebuntingan pada sapi : 4000-15000 ml.
 Korion. Korion merupakan lapisan terluar dari membrane fetus yang berhubungan langsung dengan endometrium.
2. Plasenta
            Plasenta terdiri dari dua bagian, yaitu Plasenta fetus (korio-alantois) disebut juga kotiledon dan plasenta induk (endometrium) disebut juga karunkula. Penggabungan karunkula dengan kotiledon disebut plasentom
-         Peranan / fungsi plasenta :mensintesis zat-zat yang diperlukan fetus, menghasilkan enzim dan hormon (P4 dan E) serta menyimpan dan mengkatabolisir zat-zat lain.
Tali Pusat
Tali pusat menghubungkan fetus dengan plasenta. Panjang tali pusat pada sapi sekitar 30 - 40 cm. Untuk lebih amannya agar tidak terjadi perdarahan dan infeksi maka tali pusat yang telah putus sebaiknya diligasi. Akibat panjang tali pusat, kadang-kadang tali pusat selama kebuntingan melingkari kepala, leher dan badan fetus sehingga menyebabkan kematian fetus akibat suplai darah ke fetus terganggu.
 Perubahan-perubahan Organ Reproduksi
Pada vulva dan Vagina, vulva semakin edematous dan lebih vaskuler. Mukosa vagina pucat dan likat kering selama kebuntingan dan menjadi edematous dan lembek pada akhir kebuntingan. Servik tertutup rapat-rapat. Kripta endoservikal bertambah jumlahnya dan menghasilkan mukus yang sangat kental dan menyumbat saluran servik (sehingga disebut sumbat servik) selama kebuntingan dan mencair segera sebelum partus.
Pada uterus, uterus membesar secara progresif sesuai usia kebuntingan. Pada ligamentum pelvis dan symphisis pubis terjadi relaksasi sejak awal kebuntingan dan meningkat secara progresif menjelang partus
 Bentuk Dan Lokasi Uterus Bunting
            Pada hewan piara uterus tertarik ke depan dan ke bawah masuk ruang abdomen. Pada ruminansia uterus bunting lokasinya disebelah kanan abdomen. Pada akhir kebuntingan, panjang fetus membentang dari diapragma sampai pelvis. Pada sapi bentuk uterusnya tubuler memanjang, sedangkan pada babi uterusnya sangat panjang terletak pada lantai abdomen.
Pada pertengahan kebuntingan posisi fetus terletak pada sembarang arah. Pada kebuntingan yang lanjut, posisi fetus adalah longitudinal terhadap sumbu panjang induk dalam presentasi anterior dengan kepala dan kedua kaki depannya mengarah ke servik. Sapi, babi, anjing dan kucing punggung mengarah ke dinding abdomen yang kemudian merotasi menjelang partus yaitu punggungnya mengarah punggung induk.
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan fetus seperti :
1.      Genetik : Spesies, bangsa, litter size dan genotipe
2.      Lingkungan seperti; Induk (nutrisi, size) dan plasenta ( aliran darah, ukuran }
3.      Hormon Fetus seperti  thyroid, insulin dan hormon pertumbuhan
 Kembar
Kebuntingan kembar kadang-kadang banyak terjadi pada hewan unipara. Pada sapi kejadiannya 0,5 – 4 %. Kejadian kembar identik (monozigotik) atau fratenal (dizigotik) adalah 4 – 6 % dan 93 – 95 %.
Kelahiran kembar pada hewan unipara tidak dikehendaki karena: Angka abortus yang tinggi; yaitu sekitar : 30 – 40 %, sering berakhir dengan prematur, anak-anaknya lebih kecil dan lemah, sering menyebabkan involusi tertunda, retensi plasenta, metritis septika, kemajiran sementara dan distokia, dan jarak beranak yang panjang
Secara garis besar penyebab kebuntingan kembar dibedakan atas: 1. Pengaruh lingkungan: a. musim (Biasanya dikaitkan dengan perbaikan makanan), b. usia induk ( 5 – 6 tahun biasanya kejadian kembar tinggi, 8 – 12 tahun kejadian kembar rendah), c. penjantan, d. pemberian FSH. 2. Herediter ( bangsa, perbedaan induk-pejantan dan turunannya)
 Lama Kebuntingan
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan yaitu :
1.      Faktor induk yang muda lebih pendek masa bunting dibanding yang tua.
2.      Faktor fetus: liter size,  jenis kelamin (jantan lebih lama)
3.      Faktor genetik: spesies, bangsa, dan genotif fetus
4.      Faktor lingkungan: nutrisi, temperatur dan musim
Kebuntingan yang diperpendek mungkin terjadi karena : Kembar, penyakit, kurang gizi dan hormonal (PGF2 alfa).  Kebuntingan yang diperpanjang dapat karena :  pemberian progesteron, dekapitasi fetus dan . abnormalitas fetus
 Lama Kemampuan Reproduksi
            Lama kemampuan reproduksi pada hewan piara pada dasarnya tergantung 2 faktor yaitu :
1.      Kehidupan ternak terhenti karena: kelemahan fisik akibat penyakit dan kekurangan makan karena   kehilangan gigi.
2.      Kegiatan reproduksi terhenti karena: organ reproduksi mengalami kerusakan.
3.      Lama Kemampuan reproduksi pada sapi perah sekitar 8 – 10 th dengan masa produksi 4 – 6 anak sedangkan pada sapi potong : 10 – 12 th dengan masa produksi 6 – 8 anak
 Evaluasi Hasil Inseminasi Buatan
 Penilaian atau evaluasi hasil inseminasi buatan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan inseminasi dan menentukan penyebab kegagalan dan keberhasilan menggunakan beberapa parameter. Hasil dari perhitungan evaluasi ini akan  memperoleh data yang akurat dengan syarat komponen-komponen yang terlibat dalam program tersebut antara lain faktor pejantan dengan semen yang kualitas baik dan seragam serta petugas/inseminator dengan kualifikasi yang baik juga. Apabila salah satu faktor tersebut tidak terpenuhi maka akan diperoleh data yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan. Evaluasi yang tidak benar akan berakibat kebijakan yang akan dan sedang dilakukan menjadi tidak optimal dan mengalami kerugian baik bagi peternak atau bagi pemerintah. Beberapa parameter/teknik evaluasi di bawah ini masinh kurang sempurna namun diharapkan dapat membantu memberikan gambaran secara praktis dan mudah dalam evaluasi hasil inseminasi buatan :
 1. NR (Non Return Rate)
Prosentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 s.d. 35 hari atau 60 s.d. 90 hari. Hewan yang tidak kembali diasumsikan hewan tersebut tidak estrus atau bunting, walaupun tidak menutup kemungkinan hewan yang mati, dijual, sakit dan tidak kembali dianggap bunting. Disamping itu metode ini masih sangat tergantung pada banyak hal antara lain metode pengukuran, kapan dilakukan inseminasi dan pernghitungan dan kondisi sapi sendiri seperti umur, musim, penyakit, semen, teknik perlakukan semen, kondisi betina, dll
Rumus yang dipakai adalah :
                                     Jumlah sapi yang di IB – jumlah sapi yang kembali di IB
NR                  =          ------------------------------------------------------------------------- x 100
                                                            Jumlah sapi yang di IB
 2. CR (Conception Rate)
Prosentase sapi yang bunting pada inseminasi pertama atau juga dikenal dengan angka konsepsi. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosa dari dokter hewan atau petugas lain yang berwenang pada umur 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi, rumus yang digunakan adalah :
                                     Jumlah betina bunting yg didiagnosa secara rektal
CR                   =          ---------------------------------------------------------------- x 100
                                    Jumlah seluruh betina yang diinseminasi
Angka konsepsi ditentukan tiga faktor yaitu , fertilitas pejantan, fertilitas betina dan inseminator.
 3. S/C (Service per Conception)
Rata-rata jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai S/C normal berkisar antara 1,6 s.d. 2,0 dengan syarat faktor pejantan, betina dan petugas dalam kondisi yang baik.
 4. Calving Rate
Prosentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu kali inseminasi. Cara ini digunakan karena sering terjadi tingginya angka kematian pada masa bunting dari induknya (abortus) dan kesulitan penentuan kebuntingan pada bunting umur muda, sehingga penilaian dilakukan sampai anak ersebut lahir. Disamping itu dapat digunakan untuk penilaian terhadap kemampuan dan kesanggupan induk dalam memelihara kebuntingan sampai partus.  
 PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN
 Melaksanakan diagnosa kebuntingan secara dini pada suatu peternakan sapi sangat dianjurkan dalam rangka manajemen peternakan. Pemeriksaan kebuntingan yang termurah dan praktis dapat dilakukan mulai 50 hari setelah perkawinan.
Secara garis besar ada dua indikasi dalam menentukan kebuntingan yaitu;
  1. Indikasi kebuntingan secara ekternal, meliputi;
    1. lewat catatan recording
    2. adanya anestrus
    3. pembesaran abdomen
    4. berat badan meningkat
    5. adanya gerakan fetus
    6. kelenjar air susu membesar
    7. gerakan sapi lambat
    8. bulunya mengkilat
  1. Indikasi kebuntingan secara internal
o       dapat dilakukan pemeriksaan secara per-rektal
o       cara ini lebih mudah, praktis, murah dan cepat
o       dapat dilakukan setelah 50 –60 hari perkawinan.
o       dengan cara ini dapat ditentukan adanya;
v     perubahan pada kornu uteri
v     adanya kantong amnion
v     adanya penggelinciran selaput janin
v     adanya fetus
v     adanya plasentom dan fremitus
 Dalam menentukan kebuntingan seringkali kita terkecoh, terutama bagi dokter hewan yang sudah lama tidak praktek atau yang belum berpengalaman. Differensial diagnosa kebuntingan yang sering adalah adanya tumor, mummifikasi fetus, pyometra, mukometra.
Diagnosa kebuntingan mempunyai arti yang penting dalam ;
a)      menentukan bunting tidaknya hewan
b)      menanggulangi problem infertilitas seawal mungkin
c)      meningkatkan efisiensi managemen
 Metode diagnosa kebuntingan dengan cara;
a)      deteksi fetus dengan per-rektal (PKB) atau dengan USG
b)      menentukan perubahan fisik tubuh induk
c)      menentukan perubahan endokrin terutama progesteron (P4)

Diagnosa kebuntingan

1.      Pada sapi, umumnya dengan PKB (50 – 60 hari setelah perkawinan) atau dapat dengan  assay P4 (hari ke 21 – 24 sesudah kawin)
2.      Pada kuda, umumnya dengan PKB atau dapat dengan bioassay (hari ke 40 – 120) atau dapat dengan assay kimia E (hari ke 150 – 250)
3.      Pada babi, dapat dengan PKB, atau dengan teknik ultrasonik (gelombang suara) dan dikenal dengan efek doppler (dilakukan pada hari ke 30), atau dengan histologi vagina (95 % ketepatannya)
4.      Pada kambing dan domba, dapat dengan radiografi (setelah hari ke 55), ultrasonik (hari ke 60), laparatomi, pemeriksaan abdomen dan  perubahan fisik induk
5.      Pada anjing, dapat dengan palpasi abdomen (setelah hari ke 40), ultrasonik -¾® mulai hari ke 30, radiografi, pemeriksaan hematologi mulai minggu ke 3 (eritrosit, Hb dan PCV menururun dibanding normal
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Total Tayangan Halaman

Copyrights  © edna disnak 2012 and introducing Panasonic S30

Back to TOP