Kamis, 29 Desember 2011

Pengolahan Jerami Sebagai Pakan Ternak

JERAMI PADI DICAMPUR DENGAN UREA DAN STARBIO
Jerami yang akan dicampur harus ditimbang terlebih dulu.Jerami bisa dalam keadaan kering ataupun basah ( segar ). Untuk jerami kering, urea yang digunakan harus dilarutkan kedalam air terlebih dulu, setiap 100 kg jerami kering dibutuhkan 100 liter air sebagai pelarut urea.Sedang untuk jerami segar, urea tak perlu dilarutkan kedalam air.Bila jerami segar yang dipilih maka setiap 100 kg jerami di butuhkan 10 kg urea + 10 kg starbio untuk ditaburkan diatasnya( dengan kata lain 1 kg jerami dengan 1 ons urea + 1 ons starbio ).Cara mencampurnya yaitu jerami di buat berlapis-lapis, setiap lapisan tebalnya 10 cm, setelah lapisan pertama ditebarkan lalu di tumpuki lapisan kedua begitu seterusnya, kemudian tutup tumpukan tersebut dengan plastik agar terjadi fermentasi, hindarkan dari terik sinar matahari dan hujan. Tunggu 21 hari untuk diberikan hewan ternak. Pencampuran ini dimaksudkan untuk menghancurkan ikatan silika dan lignin pada selulosa jerami, sehingga mudah dicerna dan kaya akan nitrogen, tingkat daya cerna jerami dapat meningkat dari 30 % menjadi 52 %.

JERAMI PADI KERING DENGAN NaOH
Olahan jerami padi kering dilakukan dengan cara jerami dicuci dengan NaOH. Jerami padi sebanyak 1 kg disiram secara merata dengan larutan NaOH 30 gram + air 1 liter, kemudian selelah disiram tunggu minimal 6 jam agar silika hancur. Menuruat Ditjen peternakan bahwa seekor sapi bisa diberikan jerami olahan ini sebanyak 5 kg + hijauan segar 5 kg + 5 gr mineral campuran yang bisa dibeli di toko dan garam dapur dua sendok makan.

JERAMI PADI KERING DENGAN TETES
Jerami padi olahan ini dibuat dengan cara difermentasikan selama 24 jam, yaitu jerami dipotong-potong, kemudian dicampur air dan tetes dengan perbandingan 2 : 1. Untuk setiap 10 kg jerami kering dibutuhkan tetes 1,5 kg dan air 3 kg ( 3 liter ), ditambah super phospat 25 gram ( 1 sendok makan ) dan amonium sulfat 25 gram juga, tunggu 24 jam baru diberikan pada sapi.

Selamatkan Sapi Betina Produktif

sapi betina produktif
Sejak dua dekade terakhir ini, Indonesia mengimpor daging dan sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan impor telah mencapai lebih dari 30 persen dari total kebutuhan daging nasional. Ada tiga kemungkinan, mengapa Indonesia harus mengimpor, padahal pada era tahun 1970-an atau sebelumnya Indonesia justru merupakan eksportir sapi. Pertama, permintaan daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan produksi. Kedua, permintaan di dalam negeri meningkat tetapi produksi di dalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat seirama dengan perkembangan ekonomi, namun produksi daging di dalam negeri cenderung berkurang.
Dari ketiga kemungkinan tersebut hanya ada satu jawaban bila Indonesia ingin mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu meningkatkan populasi dan produktivitas sapi yang dibarengi dengan peningkatan bobot badan dari setiap ekor sapi yang akan dipotong. Peningkatan populasi dapat dilakukan bila jumlah sapi betina produktif semakin banyak. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir ini diduga populasi sapi betina produktif tidak bertambah dan justru dikhawatirkan semakin berkurang akibat pemotongan yang terjadi di beberapa wilayah sumber ternak.
Di salah satu RPH resmi dijumpai bahwa 95 persen sapi yang dipotong setiap harinya adalah betina, sebagian besar adalah betina muda, dan di antaranya adalah sapi betina dalam kondisi bunting. Secara nasional, diperkirakan sekitar 150-200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya. Jumlah ini sangat besar dan patut diduga akan mengganggu populasi dan produksi daging yang berasal dari sapi lokal.
Pemotongan Sapi Betina Produktif sejak jaman Hindia Belanda telah dilarang. Pelarangan tersebut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun larangan tersebut tidak dikenai sanksi, sehingga implementasinya di lapang tidak efektif. Selanjutnya, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Juni 2009, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif. Orang yang melanggar larangan ini diancam Sanksi Administratif berupa denda sedikitnya Rp. 5 juta, dan Ketentuan Pidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan (Pasal 85 dan Pasal 86). Akan tetapi kenyataan di lapang menunjukkan bahwa pemotongan sapi betina produktif masih banyak terjadi, dan sulit dikendalikan.
Mengapa dipotong
Pemotongan Sapi Betina Produktif dilakukan karena ada berbagai penyebab dan alasan. Jagal, sebagai satu-satunya pelaku pemotongan sapi betina produktif, mempunyai alasan utama yaitu mencari keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Di samping itu jagal juga mempunyai banyak pertimbangan mengapa melakukan pemotongan sapi betina produktif, yaitu:
  • (i) sulit mencari sapi kecil untuk dipotong,
  • (ii) di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa ke kota besar,
  • (iii) harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang sama,
  • (iv) pengawasan dari petugas sangat lemah,
  • (v) tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham bila hal tersebut melanggar undang-undang, serta
  • (vi) peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila memerlukan uang cash.
Alasan utama dari jagal adalah mencari keuntungan. Artinya, bila pemotongan sapi betina tidak memberi keuntungan finansial secara nyata, jagal secara sukarela tidak akan pernah memotongnya. Oleh karena itu, semua upaya dan kebijakan untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pisau jagal adalah membuat kondisi agar harga sapi betina produktif menjadi sama atau sedikit lebih mahal dibandingkan sapi jantan. Persentase karkas dan kualitas daging sapi betina biasanya lebih rendah dibanding sapi jantan. Namun karena harganya lebih murah, jagal tetap memperoleh keuntungan yang layak. Biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH ‘resmi” atau liar. Namun, tidak jarang dapat dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta.
Perlu Kebijakan
Pelarangan Pemotongan Sapi Betina Produktif sudah sangat jelas dan tegas, namun sebagian besar pengemban kepentingan belum sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 – 1.000.000/ekor. Ketentuan pelarangan tersebut yang dibarengi dengan pembatasan pengeluaran ternak betina ternyata justru lebih menekan harga sapi. Sementara itu hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar pulau, sehingga jagal tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong sapi betina produktif. Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah dianggap sebagai hal yang lumrah.
Kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya, yaitu pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak akan menjual apa saja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu pengembangan ternak lain seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah perlu untuk cadangan bila peternak memerlukan uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu, pengembangan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro di tingkat pedesaan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang cash dalam jumlah yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah penjualan sapi betina produktif.
Pemotongan sapi betina produktif di beberapa wilayah sumber bibit seperti di Kupang-NTT, dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Menteri Pertanian dan Perwakilan Komisi IV DPR-RI secara langsung telah menyaksikan kejadian ini. Di lain pihak, pengeluaran sapi betina produktif dilarang untuk mencegah terjadinya pengurasan. Seandainya sapi-sapi betina yang saat ini dipotong di RPH diperbolehkan untuk diantar pulaukan, maka dapat diperkirakan harga sapi betina produktif akan meningkat dan jagal tidak akan memotongnya. Perubahan kebijakan ini tentunya harus dibarengi dengan penyediaan sapi jantan bagi jagal lokal, serta pengaturan kuota pengeluaran sapi jantan maupun sapi betina dengan lebih cermat. Untuk menghambat pemotongan sapi di kawasan ini juga diperlukan dukungan kebijakan dan program lain untuk pengembangan ternak selain sapi, sebagai substitusi untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat setempat.
Lemahnya pengawasan oleh petugas serta inkonsistensinya dalam penegakkan peraturan merupakan salah satu penyebab tingginya kejadian pemotongan sapi betina produktif di Indonesia. Selain itu kebijakan untuk meningkatkan PAD dari setiap RPH juga menjadi alasan petugas untuk melakukan pembiaran pemotongan sapi betina produktif. Oleh karena itu kebijakan dalam penetapan retribusi untuk pemotongan ternak di setiap RPH dapat dimanfaatkan sebagai instrumen dalam pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
Pemotongan Sapi Betina Produktif dapat dihambat bila kesadaran seluruh pemangku kepentingan mulai dari peternak, pedagang, jagal, konsumen sampai pada petugas dapat ditingkatkan. Instrumen berupa undang-undang sudah ada, namun ternyata sampai saat ini masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu perlu ada upaya tambahan yaitu dengan melakukan pendekatan secara etika, budaya dan agama. Sosialisasi tentang hal ini mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, ilmuwan dan politisi melalui pendekatan sosial budaya, bukan hanya melalui pendekatan teknis, ekonomi dan hukum. Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif dengan demikian harus dilakukan dengan berbagai pendekatan baik yang bersifat teknis ekonomis maupun sosial budaya. Kebijakan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik, dan untuk setiap wilayah perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada.
Untuk wilayah gudang ternak diperlukan kebijakan untuk mengeluarkan sapi betina produktif secara terkendali (terbatas), sementara untuk wilayah kosong ternak harus ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal untuk dikembangbiakkan yang berasal dari wilayah padat ternak. Untuk merealisir kebijakan ini diperlukan dukungan dana dan kelembagaan yang memadai, serta dibarengi dengan pengawalan dan pengawasan yang ketat.

Kamis, 24 November 2011

Cara Budidaya Ternak Itik

BUDIDAYA TERNAK ITIK
( Anas spp. )

1.    SEJARAH SINGKAT
       Itik dikenal juga dengan istilah Bebek (bhs.Jawa). Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild mallard. Terus menerus dijinakkan oleh manusia hingga jadilah itik yang diperlihara sekarang yang disebut Anas domesticus (ternak itik).

2.    SENTRA PETERNAKAN
       Secara internasional ternak itik terpusat di negara-negara Amerika utara, Amerika Selatan, Asia, Filipina, Malaysia, Inggris, Perancis (negara yang
mempunyai musim tropis dan subtropis). Sedangkan di Indonesia ternak itik terpusatkan di daerah pulau Jawa (Tegal, Brebes dan Mojosari), Kalimantan (Kecamatan Alabio, Kabupaten Amuntai) dan Bali serta Lombok.

3.    J E N I S
            Klasifikasi (penggolongan) itik, menurut tipenya dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1)  Itik petelur seperti Indian Runner, Khaki Campbell, Buff (Buff Orpington) dan CV 2000-INA;
2)  Itik pedaging seperti Peking, Rouen, Aylesbury, Muscovy, Cayuga;
3)  Itik ornamental (itik kesayangan/hobby) seperti East India, Call (Grey Call), Mandariun, Blue Swedish, Crested, Wood.
Jenis bibit unggul yang diternakkan, khususnya di Indonesia ialah jenis itik petelur seperti itik tegal, itik khaki campbell, itik alabio, itik mojosari, itik bali, itik CV 2000-INA dan itik-itik petelur unggul lainnya yang merupakan produk dari BPT (Balai Penelitian Ternak) Ciawi, Bogor.

4.    MANFAAT
1)    Untuk usaha ekonomi kerakyatan mandiri.
2)  Untuk mendapatkan telur itik konsumsi, daging, dan juga pembibitan ternak itik.
3)  Kotorannya bisa sebagai pupuk tanaman pangan/palawija.
4)  Sebagai pengisi kegiatan dimasa pensiun.
5)  Untuk mencerdaskan bangsa melalui penyediaan gizi masyarakat.

5.    PERSYARATAN LOKASI
       Mengenai lokasi kandang yang perlu diperhatikan adalah: letak lokasi lokasi jauh dari keramaian/pemukiman penduduk, mempunyai letak transportasi yang mudah dijangkau dari lokasi pemasaran dan kondisi lingkungan kandang mempunyai iklim yang kondusif bagi produksi ataupun produktivitas ternak. Itik serta kondisi lokasi tidak rawan penggusuran dalam beberapa periode produksi.

6.    PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
            Sebelum seorang peternak memulai usahanya, harus menyiapkan diri, terutama dalam hal pemahaman tentang pancausaha beternak yaitu (1).
Perkandangan; (2). Bibit Unggul; (3). Pakan Ternak; (4). Tata Laksana dan (5). Pemasaran Hasil Ternak.
6.1.      Penyiapan Sarana dan Peralatan
  1. Persyaratan temperatur kandang ± 39 derajat C.
  2. Kelembaban kandang berkisar antara 60-65%
  3. Penerangan kandang diberikan untuk memudahkan pengaturan kandang agar tata kandang sesuai dengan fungsi bagian-bagian kandang
  4. Model kandang ada 3 (tiga) jenis yaitu:
a.   kandang untuk anak itik (DOD) oada masa stater bisa disebut juga kandang box, dengan ukuran 1 m2 mampu menampung 50 ekor DOD
b.  kandang Brower (untuk itik remaja) disebut model kandang Ren/kandang kelompok dengan ukuran 16-100 ekor perkelompok
c.   kandang layar ( untuk itik masa bertelur) modelnya bisa berupa kandang baterei ( satu atau dua ekor dalam satu kotak) bisa juga berupa kandang lokasi ( kelompok) dengan ukuran setiap meter persegi 4-5 ekor itik dewasa ( masa bertelur atau untuk 30 ekor itik dewasa dengan ukuran kandang 3 x 2 meter).
  1. Kondisi kandang dan perlengkapannya
    Kondisi kandang tidak harus dari bahan yang mahal tetapi cukup sederhana asal tahan lama (kuat). Untuk perlengkapannya berupa tempat makan, tempat minum dan mungkin perelengkapan tambahan lain yang bermaksud positif dalam managemen
 6.2.      Pembibitan
Ternak itik yang dipelihara harus benar-benar merupakan ternak unggul yang telah diuji keunggulannya dalam memproduksi hasil ternak yang diharapkan.
1)         Pemilihan bibit dan calon induk
Pemilihan bibit ada 3 ( tiga) cara untuk memperoleh bibit itik yang baik adalah sebagai berikut :
a.   membeli telur tetas dari induk itik yang dijamin keunggulannya
b. memelihara induk itik yaitu pejantan + betina itik unggul untuk mendapatkan telur tetas kemudian meletakannya pada mentok, ayam atau mesin tetas
c. membeli DOD (Day Old Duck) dari pembibitan yang sudah dikenal mutunya maupun yang telah mendapat rekomendasi dari dinas peternakan setempat.Ciri DOD yang baik adalah tidak cacat (tidak sakit) dengan warna bulu kuning mengkilap.
 2)         Perawatan bibit dan calon induk
a.   Perawatan Bibit
Bibit (DOD) yang baru saja tiba dari pembibitan, hendaknya ditangani secara teknis agar tidak salah rawat. Adapun penanganannya sebagai berikut: bibit diterima dan ditempatkan pada kandang brooder (indukan) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam brooder adalah temperatur brooder diusahakan yang anak itik tersebar secara merata, kapasitas kandang brooder (box) untuk 1 m2 mampu menampung 50 ekor DOD, tempat pakan dan tempat minum sesuai dengan ketentuan yaitu jenis pakan itik fase stater dan minumannya perlu ditambah vitamin/mineral.
b.   Perawatan calon Induk
Calon induk itik ada dua macam yaitu induk untuk produksi telur konsumsi dan induk untuk produksi telur tetas. Perawatan keduanya sama saja, perbedaannya hanya pada induk untuk produksi telur tetas harus ada pejantan dengan perbandingan 1 jantan untuk 5 – 6 ekor betina.

3) Reproduksi dan Perkawinan
Reproduksi atau perkembangbiakan dimaksudkan untuk mendapatkan telur tetas yang fertil/terbuahi dengan baik oleh itik jantan. Sedangkan sistem perkawinan dikenal ada dua macam yaitu itik hand mating/pakan itik yang dibuat oleh manusia dan nature mating (perkawinan itik secara alami).
6.3.      Pemeliharaan
  1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
    Sanitasi kandang mutlak diperlukan dalam pemeliharaan itik dan tindakan preventif (pencegahan penyakit) perlu diperhatikan sejak dini untuk mewaspadai timbulnya penyakit.
  2. Pengontrol Penyakit
    Dilakukan setiap saat dan secara hati-hati serta menyeluruh. Cacat dan tangani secara serius bila ada tanda-tanda kurang sehat pada itik.
  3. Pemberian Pakan
    Pemberian pakan itik tersebut dalam tiga fase, yaitu fase stater (umur 0–8 minggu), fase grower (umur 8–18 minggu) dan fase layar (umur 18–27 minggu). Pakan ketiga fase tersebut berupa pakan jadi dari pabrik (secara praktisnya) dengan kode masing-masing fase.
    Cara memberi pakan tersebut terbagi dalam empat kelompok yaitu:
a.   umur 0-16 hari diberikan pada tempat pakan datar (tray feeder)
b.   umur 16-21 hari diberikan dengan tray feeder dan sebaran dilantai
c.   umur 21 hari samapai 18 minggu disebar dilantai.
d.   umur 18 minggu–72 minggu, ada dua cara yaitu 7 hari pertama secara pakan peralihan dengan memperhatikan permulaan produksi bertelur sampai produksi mencapai 5%. Setelah itu pemberian pakan itik secara ad libitum (terus menerus).
  1. Dalam hal pakan itik secara ad libitum, untuk menghemat pakan biaya baik tempat ransum sendiri yang biasa diranum dari bahan-bahan seperti jagung, bekatul, tepung ikan, tepung tulang, bungkil feed suplemen Pemberian minuman itik, berdasarkan pada umur itik juga yaitu :
a.   umur 0-7 hari, untuk 3 hari pertama iar minum ditambah vitamin dan mineral, tempatnya asam seperti untuk anak ayam.
b.   umur 7-28 hari, tempat minum dipinggir kandang dan air minum diberikan secara ad libitum (terus menerus)
c.   umur 28 hari-afkir, tempat minum berupa empat persegi panjang dengan ukuran 2 m x 15 cm dan tingginya 10 cm untuk 200-300 ekor. Tiap hari dibersihkan
6.           5. Pemeliharaan Kandang
Kandang hendaknya selalu dijaga kebersihannya dan daya gunanya agar produksi tidak terpengaruh dari kondisi kandang yang ada.

 7.    HAMA DAN PENYAKIT
            Secara garis besar penyakit itik dikelompokkan dalam dua hal yaitu:
1)  penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri dan protozoa
2)  penyakit yang disebabkan oleh defisiensi zat makanan dan tata laksana perkandangan yang kurang tepat

Adapun jenis penyakit yang biasa terjangkit pada itik adalah:
1.  Penyakit Duck Cholera
P
enyebab: bakteri Pasteurela avicida.
G
ejala: mencret, lumpuh, tinja kuning kehijauan.
P
engendalian: sanitasi kandang,pengobatan dengan suntikan penisilin pada urat daging dada dengan dosis sesuai label obat.
2.  Penyakit Salmonellosis
P
enyebab: bakteri typhimurium.Gejala: pernafasan sesak, mencret.
P
engendalian: sanitasi yang baik, pengobatan dengan furazolidone melalui pakan dengan konsentrasi 0,04% atau dengan sulfadimidin yang dicampur air minum, dosis disesuaikan dengan label obat.

8.    P A N E N
       8.1.           Hasil Utama
Hasil utama, usaha ternak itik petelur adalah telur itik
8.2. Hasil Tambahan
Hasil tambah berupa induk afkir, itik jantan sebagai ternak daging dan kotoran ternak sebagai pupuk tanam yang berharga

9.    PASCA PANEN
            Kegiatan pascapanen yang bias dilakukan adalah pengawetan. Dengan pengawetan maka nilai ekonomis telur itik akan lebih lama dibanding jika tidak dilakukan pengawetan. Telur yang tidak diberikan perlakuan pengawetan hanya dapat tahan selama 14 hari jika disimpan pada temperatur ruangan bahkan akan segera membusuk. Adapun perlakuan pengawetan terdiri dari 5 macam, yaitu:
a)  Pengawetan dengan air hangat
Pengawetan dengan air hangat merupakan pengawetan telur itik yang paling sederhana. Dengan cara ini telur dapat bertahan selama 20 hari.
b)  Pengawetan telur dengan daun jambu biji
Perendaman telur dengan daun jambu biji dapat mempertahankan mutu telur selama kurang lebih 1 bulan. Telur yang telah direndam akan berubah warna menjadi kecoklatan seperti telur pindang.
c)  Pengawetan telur dengan minyak kelapa
Pengawetan ini merupakan pengawetan yang praktis. Dengan cara ini warna kulit telur dan rasanya tidak berubah.
d)  Pengawetan telur dengan natrium silikat
Bahan pengawetan natrium silikat merupkan cairan kental, tidak berwarna, jernih, dan tidak berbau. Natirum silikat dapat menutupi pori kulit telur sehingga telur awet dan tahan lama hingga 1,5 bulan. Adapun caranya adalah dengan merendam telur dalam larutan natrium silikat10% selama satu bulan.
e)  Pengawetan telur dengan garam dapur
Garam direndam dalam larutan garam dapur (NaCl) dengan konsentrasi 25- 40% selama 3 minggu.

10.  ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN
            10.1.    Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis budidaya itik di Semarang tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1) Permodalan
a.  Modal kerja
- Anak itik siap telur um 6 bl 36 paketx500 ek x Rp 6.000
- Biaya kelancaran usaha dan lain-lain                             
Rp 108.000.000,-
Rp 4.000.000,-
b.  Modal Investasi
- Kebutuhan kandang 36 paket x Rp 500.000,-              
Rp 18.000.000,-
     Jumlah kebutuhan modal
Prasyaratan kredit yang dikehendaki:
- Bunga (menurun) 20% /tahun
- Masa tanggung angsuran 1 tahun
- Lama kredit 3 tahun                                                      Rp 130.000.000,-

2) Biaya-biaya
a.  Biaya kelancaran usaha dan lain-lain                            Rp 4.000.000,-
b.  Biaya tetap
- Biaya pengambalian kredit:
- Biaya pengambalian angsuran dan bunga tahun I
- Biaya pengambalian angsuran dan bunga tahun II
- Biaya pengambalian angsuran dan bunga tahun III
- Biaya penyusutan kandang:
- biaya penyusutan kandang tahun I
- biaya penyusutan kandang tahun II
- biaya penyusutan kandang tahun III                              

Rp 14.723.000,-

Rp 86.125.000,-
Rp 73.125.000,-

Rp 3.600.000,-

Rp 3.600.000,-
Rp 3.600.000,-

3) Biaya tidak tetap
a.  Biaya pembayaran ransum:
- biaya ransum tahun I
- biaya ransum tahun II
- biaya ransum tahun III                                                 
Rp 245.700.000,-
Rp 453.600.000,-
Rp 453.600.000,-
b.  Biaya pembayaran itik siap produksi:
- pembayaran tahun I
- pembayaran tahun II
- pembayaran tahun III                                                  
Rp 108.000.000,-
-
-
c.  Biaya pembayaran obat-obatan:
- biaya pembayaran obat-obatan tahun I
- biaya pembayaran obat-obatan tahun II
- biaya pembayaran obat-obatan tahun III
(Biaya obat-obatan adalah 1% dari biaya ransum)          
Rp 2.457.000,-
Rp 4.536.000,-
Rp 4.436.000,-

4) Pendapatan
a.  Penjualan telur tahun I                                                Rp 384.749.920,-
b.  Penjualan telur tahun II                                               Rp 615.600.000,-
c.  Penjualan telur tahun III                                              Rp 615.600.000,-
d.  Penjualan itik culling 2 x 1.425 x Rp 2.000,-               Rp 5.700.000,-

10.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Telur dan daging itik merupakan komoditi ekspor yang dapat memberikan keuntungan besar. Kebutuhan akan telur dan daging pasar internasional sangat besar dan masih tidak seimbang dari persediaan yang ada. Hal ini dapat dilihat bahwa baru dua negara Thailand dan Malaysia yang menjadi negara pengekspor terbesar. Hingga saat ini budidaya itik masih merupakan komoditi yang menjanji untuk dikembangkan secara intensif.

Rabu, 26 Oktober 2011

Susu Pasteurisasi dan Penerapan HACCP

Susu merupakan salah satu pangan yang tinggi kandungan gizinya, bila ditinjau dari kandungan protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin. Dalam memenuhi kebutuhan protein, terutama pada kasus penderita gizi buruk, susu merupakan pilihan pertama.  Sehingga ketersediaan susu perlu diperhatikan untuk memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Akan tetapi, susu juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Usaha memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan usaha meningkatkan kualitas dan keamanan produk susu, karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu pangan tidak akan ada artinya apabila pangan tersebut berbahaya bagi kesehatan. Untuk Indonesia, sebaiknya susu yang berkualitas dan cukup aman bagi konsumen memenuhi persyaratan yang tertuang dalam SNI susu segar (BSN, 1996) dan SNI pengujian susu segar (BSN, 1998a)
Tujuan pasteurisasi adalah menghilangkan mikroba patogen yang membahayakan kesehatan manusia tanpa merubah rasa, konsistensi dan kandungan nutrisi susu. Penerapan jaminan mutu seperti HACCP akan dapat menghasilkan susu pasteurisasi yang lebih bermutu dan lebih aman bagi konsumen. Sebaiknya HACCP perlu diterapkan pada proses pembuatan susu pasteurisasi, dan sebaiknya dimulai secara bertahap. Pasteurisasi merupakan salah satu usaha memperpanjang daya tahan susu, mencari bentuk lain dari susu segar, dan dapat juga ditambah dengan aroma tertentu serta dikemas dalam kemasan yang menarik. Pasteurisasi merupakan salah satu cara pengolahan susu dengan cara pemanasan untuk mempertahankan mutu dan keamanan susu. Susu pasteurisasi siap minum diminati oleh konsumen. Susu pasteurisasi merupakan bentuk lain dari susu segar dan merupakan salah satu cara untuk memperpanjang daya tahan susu segar (RENNIE, 1989). Jaminan kualitas dan keamanan pada susu pasteurisasi diharapkan akan dapat meningkatkan konsumsi susu secara umum, dan secara tak langsung akan mendorong upaya peningkatan produksi susu. Peningkatan konsumsi susu yang diharapkan adalah peningkatan konsumsi susu segar atau susu murni, bukan susu bubuk dalam kaleng.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Total Tayangan Halaman

Copyrights  © edna disnak 2012 and introducing Panasonic S30

Back to TOP