Kolibasilosis
Etiologi
Kolibasilosis pada ayam adalah penyakit lokal atau sistemik yang sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh Escherichia coli, termasuk koliseptisemia, koligranuloma, air sac diseases, avian cellulites, swollen head syndrome, peritonitis, salfingitis, osteomyelitis/synovitis, panophtalmitis dan omphalitis atau infeksi kantong kuning telur (Barness dan Gross, 1997).
Escherichia coli diisolasi pertama kali pada tahun 1885 oleh Buchner dan secara lengkap diuraikan oleh Theobald Escherich pada tahun 1882 (Gyles, 1983). Meskipun kebanyakan diantaranya nonpatogen, beberapa diantaranya menyebabkan infeksi ekstra intestinal (Aiello, 1998). Escherichia coli merupakan penghuni normal saluran pencernaan unggas. Adanya Escherichia coli dalam air minum merupakan indikasi adanya pencemaran oleh feses. Dalam saluran pencernaan ayam normal terdapat 10-15% bakteri Escherichia coli patogen dari keseluruhan Escherichia coli (Barness dan Gross, 1997). Dalam individu yang sama, Escherichia coli dalam usus tidak selalu sama dengan yang diisolasi dari jaringan lain (Tabbu, 2000).
Bakteri Escherichia coli dapat ditemukan dalam liter, kotoran ayam, debu atau kotoran dalam kandang. Debu dalam kandang ayam dapat mengandung 105 sampai 106 Escherichia coli per gram (Tabbu, 2000). Menurut Barness dan Gross (1997), bakteri ini dapat bertahan lama dalam kandang, terutama dalam keadaan kering.
Escherichia coli adalah bakteri gram negatif, tidak tahan asam, tidak membentuk spora dan umumnya berukuran 2-3 x 0,6 μm (Barner dan Gros, 1997). Escherichia coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya membentuk koloni bulat dan cembung. Beberapa strain Escherichia coli menyebabkan hemolisis dalam agar darah (Jawetz et al., 2001). Menurut Raji (2003), kemampuan Escherichia coli dalam menghemolisis dapat menjadi salah satu metode penentuan patogenitas Escherichia coli.
Pada media Eosin Methylene Blue (EMB) koloni Escherichia coli tumbuh khas yaitu terlihat berwarna hijau metalik. Escherichia coli memproduksi asam dan gas dalam glukosa, maltosa, manitol, gliserol, xylose, rhamnose, sorbitol dan arabinosa, tetapi tidak dalam dekstrin dan inositol. Beberapa strain memfermentasikan laktosa dengan lambat atau tidak sama sekali, fermentasi adonitol, sukrosa, salisin, rafinosa dan dulsitol bervariasi. Escherichia coli positif pada tes methyl red dan negatif pada tes Voges-proskauer. Pada Kligler’s iron medium, Escherichia coli tidak memproduksi H2S (Barness dan Gross, 1997).
Janben et al. (2001), mengelompokkan Escherichia coli patogenik sesuai dengan gejala klinis yang ditimbulkan antara lain: Escherichia coli penyebab diare, Escherichia coli penyebab septisemia dan Avian Pathogenic Escherichia coli (APEC). Beberapa faktor virulensi yang terdapat pada Escherichia coli galur APEC diantaranya: FimC (fimbrae tipe1), iucD, protein tsh, hlyE dan stx2f. Galur APEC merupakan galur yang berhubungan dengan lesi-lesi karakteristik penyakit kolibasilosis pada ayam. Stehling et al. (2003), menambahkan bahwa sebagian besar galur APEC termasuk dalam serotipe O78 dan mempunyai kemampuan untuk mengekspresi beberapa faktor virulensi diantaranya adalah adhesin yang berperan dalam perlekatan pada saluran pernafasan ayam.
Distribusi dan penularan
Kebanyakan Escherichia coli hidup di lingkungan kandang unggas melalui kontaminasi feses. Permulaan kejadian patogen dari Escherichia coli mungkin terjadi di hatchery dari infeksi atau telur yang terkontaminasi, tetapi infeksi sistemik biasanya membutuhkan lingkungan predisposisi atau sebab-sebab infeksi (Aiello, 1998). Akoso (1998) menambahkan infeksi kolibasilosis terjadi melalui kontak langsung dengan lingkungan tempat tinggal ayam yang basah dan kotor, dan bukan dari ayam ke ayam. Mc Mullin (2004), menyebutkan bahwa infeksi kolibasilosis biasanya terjadi baik melalui peroral atau inhalasi, lewat membran sel/yolk/tali pusat, air, muntahan, dengan masa inkubasi 3-5 hari.
Mycoplasmosis, infectious bronchitis, newcastle disease, hemoragi enteritis, dan turkey bordetellosis seringkali menyertai kolibasilosis. Kualitas udara yang buruk dan stres yang berasal dari lingkungan juga kemungkinan untuk predisposisi infeksi Escherichia coli (Aiello, 1998). Tabbu (2000), berpendapat bahwa faktor pendukung timbulnya kolibasilosis meliputi sanitasi yang kurang optimal, sumber air minum yang tercemar bakteri, sistem perkandangan dan peralatan kandang yang kurang memadai dan adanya berbagai penyakit yang bersifat imunosupresi.
Faktor-faktor virulensi
Kemampuan Escherichia coli dalam menimbulkan tingkat keparahan yang tinggi tergantung dari faktor-faktor virulensi yang dimiliki Escherichia coli patogenik. Faktor virulensi inilah yang membedakan antara Escherichia coli patogenik dengan non patogenik. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui macam-macam faktor virulensi yang dimiliki oleh Escherichia coli patogenik. Beberapa faktor virulensi yang dimiliki Escherichia coli galur APEC telah teridentifikasi dan diduga berhubungan dengan banyak kasus kolibasilosis antara lain: sistem aerobaktin dalam uptake Fe, polisakarida K1, protein Tsh dan produk ”cytopathic effect”.
Pada saat jaringan berada dalam kondisi Fe yang rendah, siderophore diekskresikan ke jaringan dan mengikat Fe dari transferring (Dho-Moulin, 2000). Menurut Carter dan Wise (2004), siderophore (protein penghasil Fe) yang berhubungan dengan sistem uptake Fe pada Escherichia coli dibagi menjadi 3 tipe: enterobaktin yang mampu memindahkan Fe dari protein binding-Fe ke dalam sel bakteri, aerobaktin yang dapat dibedakan dari enterobaktin melalui kemampuannya menghindar dari ikatan serum albumin dan non-native siderophore yang terdapat pada fungi yaitu siderophore ferrichrome dan coprogen rhodororulic acid. Escherichia coli juga dapat menggunakan sitrat untuk menghasilkan Fe.
Polisakarida K-1 merupakan kapsul polisakarida yang tidak bersifat imunogenik, mencegah opsonisasi dan fagositosis. Protein Tsh sebagian besar berhubungan dengan Escherichia coli galur APEC, tetapi tidak berhubungan dengan Escherichia coli yang diisolasi dari feses ayam sehat. Diantara isolat Escherichia coli dengan protein Tsh positif memperlihatkan kejadian sakit oleh galur patogenik lebih besar daripada isolat Escherichia coli non patogenik (Dho-Moulin, 2000).
Barness dan Gross (1997) melengkapi faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan virulensi Escherichia coli yang berhasil diidentifikasi dari ayam yang sakit antara lain: serotipe O tertentu (O1, O2, O35 dan O78), fermentasi adonitol, resistensi antibiotik, kemampuan mengikat warna congo red, plasmid berukuran besar (large plasmid), colicin V, motilitas, endotoksin, resistensi komplemen, kemampuan menginvasi sel dan jaringan dan kemampuan untuk berada dalam sirkulasi atau jaringan. Tidak satupun faktor virulensi yang sama muncul dalam semua galur patogenik, yang dapat membedakan antara galur patogenik dan non patogenik.
Manifestasi klinis
Gejala klinis biasanya non spesifik dan bervariasi menurut umur, organ yang terkena, dan penyakit lain yang menyertai (Aiello, 1998). Infeksi oleh Escherichia coli dapat berbentuk kematian embrio pada telur tetas, infeksi yolk sac, omphalitis, koliseptisemia, air sakulitis (radang kantong udara), enteritis, infeksi alat reproduksi (ooforitis, salfingitis), koligranuloma (Hjjarre’s disease), arthritis, panopthalmitis (radang mata) dan bursitis sternalis (radang bursa sternalis) (Tabbu, 2000).
Menurut Barness dan Gross (1997), penyebab kematian embrio dan anak ayam adalah kontaminasi feses pada telur yang diperkirakan menjadi sumber infeksi yang utama. Telur tetas yang berasal dari lingkungan yang kotor/berdebu dengan kualitas kerabang yang tipis akan mudah kemasukan Escherichia coli dan dapat mencapai yolk sac. Rute lain dapat melalui infeksi ovarium dan salfingitis sedikitnya 10 serotipe O1a : K1 : H7 menyebabkan 100% kematian pada DOC ketika diinfeksi melalui yolk sac. Ayam dengan infeksi yolk sac juga sering mengalami radang pada pusar (omfalitis). Anak ayam yang mampu bertahan hidup lebih dari 4 hari terdapat lesi perikarditis yang menandakan penyebaran sistemik Escherichia coli dari yolk sac (Barness dan Gross, 1997).
Infeksi saluran pernafasan pada umumnya merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit pernafasan, terutama chronic respiratory disease (CRD), infectious coryza (snot), newcastle disease dan infectious bronchitis (IB). Mukosa saluran pernapasan yang rusak akan sangat peka terhadap invasi Escherichia coli melalui rute pernapasan (Tabbu, 2000). Pada gejala klinis berupa infeksi saluran pernafasan lesi yang timbul berupa air sakulitis yang menyebar ke jaringan-jaringan lain, pneumonia, pleuropneumonia, perikarditis dan perihepatitis. Lesi dapat diperoleh dengan menginokulasikan Escherichia coli patogen ke kantung udara. Air sakulitis akan muncul dalam waktu 1,5 hari. Bakterimia dan perikarditis akan muncul dalam waktu 6 hari (Barness dan Gross, 1997).
Koliseptisemia banyak ditemukan pada ayam muda, terutama umur 4-12 minggu dan banyak dilaporkan pada ayam pedaging. Koliseptisemia terjadi jika Escherichia coli masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginfeksi berbagai jaringan melalui lesi pada usus atau saluran pernafasan yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Gejala klinik yang timbul dapat berbentuk gangguan pencernaan dan kadang-kadang gangguan pernafasan. Gejala awal biasanya ditandai oleh penurunan nafsu makan, lalu diikuti oleh kelesuan dan bulu berdiri. Ayam yang sakit akan menunjukkan peningkatan frekuensi nafas dan kadang-kadang bernafas dengan mulut disertai ngorok (Tabbu, 2000).
Menurut Jordan (1990), lesi posmortem berupa air sakulitis, peritonitis, perihepatitis dan perikarditis. Masa fibrinous menutupi perikardium dengan penebalan perikardium, berwarna putih dan menyebar pada permukaan hepar, merupakan lesi karakteristik. Serotipe yang paling banyak ditemukan sehubungan dengan koliseptisemia adalah O1, O2, O8 dan O78. Lesi lain yaitu ooforitis dan salfingitis, banyak ditemukan pada ayam petelur menjelang periode bertelur atau selama masa produksi. Ooforitis dan salfingitis sering menyebabkan statis ovarium, sumbatan atau ruptur pada oviduk, yang selanjutnya dapat mengakibatkan ”egg peritonitis” (Tabbu, 2000) dan lesi posmortem menurut Jordan (1990), berupa hancuran yolk, material kaseus pada kavum abdominal, radang, dan distorsi ovarium dan salfingitis.
Bentuk koligranuloma (Hjarre’s Disease) jarang ditemukan pada ayam. Koligranuloma tersifat oleh adanya granuloma yang keras dan berwarna kekuningan pada hati, duodenum, sekum dan mesenterium.
Bentuk arthritis (radang sendi) biasanya merupakan lanjutan dari koliseptisemia dan dapat bersifat akut maupun kronis. Persendian yang terkena akan membengkak dan jika dibuka dapat ditemukan adanya cairan bening ataupun masa mengkeju di dalam persendian tersebut (Tabbu, 2000).
Bentuk panopthalmitis mungkin berhubungan dengan koliseptisemia, menciri dengan adanya hypopion (pernanahan pada mata), yang biasanya menyerang salah satu mata dan mengakibatkan kebutaan. Kebanyakan ayam mati setelah mengalami gejala tersebut, namun beberapa diantaranya sembuh tetapi mengalami kebutaan secara permanen (Barness dan Gross, 1997).
Kasus selulitis merupakan penyebab utama peningkatan angka afkir daging ayam (Peighambari et al., 1995). Selulitis adalah radang pada jaringan sub kutan, biasanya ditemukan di daerah paha dan abdomen bagian bawah. Proses peradangan kronis pada kulit mempengaruhi bagian abdomen dari ayam pedaging. Lesi karakteristik berupa masa kaseus, eksudat heterofilik pada jaringan sub kutan. Lesi berlokasi pada kulit di daerah selangkangan. Serotipe yang dilaporkan antara lain O2, O78 atau tidak bertipe dan memproduksi aerobactin dan colicin (Barness dan Gross 1997).
Diagnosis
Pertimbangan diagnosis dengan memperhatikan predisposisi infeksi dan faktor lingkungan. Patogenitas dari isolat diperlihatkan saat inokulasi parenteral dari ayam muda atau dewasa dengan timbulnya fatal septisemia atau lesi tipikal dalam 3 hari (Aiello, 1998). Kolibasilosis memiliki angka morbiditas yang bervariasi dan mortalitas 5-20% (Mc Mullin, 2004).
Isolasi dari kultur Escherichia coli yang diambil dari darah di jantung, hati, atau lesi khas visceral pada karkas segar yang diindikasi primer atau sekunder kolibasilosis (Aiello, 1998). Mc Mullin (2004), menambahkan dari kultur aerob akan didapat koloni 2-5 mm pada plat agar darah (PAD) dan McConkey agar setelah 18 jam, pada kebanyakan strain Escherichia coli akan memfermentasi laktosa dan menghasilkan koloni merah terang pada McConkey agar.
Pengobatan
Terapi antimikrobial merupakan hal yang penting untuk menurunkan angka kejadian maupun mortalitas akibat kolibasilosis (Freed et al., 1993; Goren, 1990; Watts et al., 1993). Mc Mullin (2004), merekomendasikan penggunaan amoksisilin, tetrasiklin, neomisin (aktifitas lokal di usus), gentamisin atau ceftiour (pada hatchery), sulfonamid, fluorokuinolon untuk terapi kolibasilosis.
Keyes et al. (2000), menemukan Escherichia coli yang diisolasi dari ayam di peternakan Amerika Serikat resisten pada florfenicol dan antibiotik turunan chloramphenicol. Salehi dan Bonab (2006), menemukan bahwa antibiotik yang sering digunakan untuk mengatasi kolibasilosis memiliki resistensi yang tinggi. Pengujian pada berbagai strain Escherichia coli yang diisolasi dari ayam yang terkena koliseptisemia menunjukkan persentase resistensi yang tinggi terhadap berbagai antibiotik, diantaranya adalah: Nalidixic acid (100%), Lincomycin (100%), Erythromycin (97%), Oxytetracycline (95%), Chlortetracycline (95%), Tetrasiklin (94%), Flumequine (94%), Tiamulin (91%), Doxycycline (88%), Difloxacin (83%), Neomisin (81%), Streptomycin (81%), Trimethoprim-Sulphamethoxazole (80%), Kanamycin (77%), Enrofloxacin (76%), Norfloxacin (68%), Ciprofloxacin (67%), Chloramphenicol (67%), Furazolidone (66%), Nitrofurantoin (56%), Amoksisilin (53%) dan Ampisilin (47%). Resistensi Escherichia coli terhadap Gentamisin belum ditemukan dan resistensi terhadap Amikacin, Cefazolin, Kolistin, Tobramycin, Ceftizoxime, Cefixime, Lincospectin, Ceftazidime dan juga Florfenicol ditemukan pada prosentase yang rendah.
Pencegahan dan pengendalian
Infeksi Escherichia coli pada saluran pernapasan dapat diturunkan dengan memperbaiki ventilasi. Metode untuk mencegah infeksi pada saluran pencernaan belum diketahui dengan jelas, meskipun sudah mempertimbangkan bahwa ransum yang berbentuk pelet memiliki kontaminasi Escherichia coli lebih sedikit dari pada bentuk kotoran serbuk, kotoran tikus merupakan sumber patogenik Escherichia coli dan air yang sudah terkontaminasi. Pemberian klorin pada air minum tertutup (nipple) akan menurunkan terjadinya kolibasilosis dan pengafkiran karena air sakulitis.
Sumber penyebaran Escherichia coli patogen yang paling penting diantara ternak adalah kontaminasi fekal pada telur yang sedang menetas. Pengumpulan telur yang lebih sering, menjaga kebersihan kandang, membuang telur yang pecah atau yang jelas-jelas telah terkontaminasi oleh kotoran serta disinfeksi telur 2 jam setelah di sirami dapat membantu menurunkan penyebaran bakteri Escherichia coli. Makanan juga mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi Escherichia coli. Ayam yang diberi diet protein tinggi serta pemberian yang diselingi satu hari lebih tahan terhadap infeksi Escherichia coli (Saif, 2003).
Amoksisilin
Penisilin ditemukan sebagai antibiotika pada tahun 1929 oleh Alexander Fleming dan berasal dari jamur Penisilin notatum (Brander et al. 1991), kemudian digunakan P. chrysogenum yang menghasilkan penisilin lebih banyak (Ganiswara, 1994). Semua penisilin adalah derivat dari 6-aminopenicillanic acid dan terdapat di dalamnya cincin betalactam sebagai pembawa sifat aktifitas antimikrobial (Gambar 1) (Trevor et al., 2003). Rantai samping penisilin merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai jenis radikal. Dengan mengikat berbagai radikal pada gugus amino bebas tersebut akan diperoleh berbagai penisilin (Ganiswara, 1994).
Gambar 1. Rumus dasar struktur penisilin
Keterangan: A= cincin thiazolidin; B= cincin β-laktam; R= rantai substitusi
(Brooks et al., 2005)
Amoksisilin merupakan prototip golongan aminopenisilin dan mempunyai spektrum luas, tetapi aktivitas terhadap kokus gram positif kurang dari penisilin G. Semua penisilin golongan ini dirusak oleh betalactamase baik yang diproduksi kuman gram positif maupun gram negatif (Ganiswara, 1994; Carter dan Wise, 2004). Nama kimianya adalah (2S,5R,6R)-6-[(R)-(-)-2-amino-2-(p-hydroxyphenyl)acetamido]-3,3-dimethyl-7-oxo-4-thia-1-azabicyclo [3.2.0] heptane-2-carboxylic acid trihydrate. Amoksisilin memiliki formula molekul C16H19N3O5S•3H2O, dan berat molekul 419.45 (Anonim, 2006).
Amoksisilin dan aminopenisilin lain memiliki efek bakterisidal baik pada bakteri gram positif ataupun gram negatif. Meningococci dan L. monocytogenes sensitif terhadap obat ini. Pada kebanyakan isolat Pneumococcal memiliki variasi level resistensi terhadap amoksisilin. Galur yang resisten terhadap penisilin menjadi pertimbangan resistensi terhadap amoksisilin. H. influenzae dan grup Streptococcus menunjukkan variabel derajad resistensi. Enterococci memiliki sensitifitas terhadap amoksisilin hampir dua kali, berdasarkan pada berat, sebagaimana penisilin G. Meskipun kebanyakan galur N. gonorrhoeae, Escherichia coli, P. mirabilis, Salmonella dan Shigella sangat rentan terhadap amoksisilin saat pertama kali digunakan pada tahun 1960an, pada saat ini terjadi peningkatan persentase resistensi dari spesies tadi. Sekitar 30%-50% Escherichia coli, P. Mirabilis dengan jumlah signifikan, dan pada kenyataannya semua spesies enterobakter saat ini menjadi kurang sensitif terhadap amoksisilin. Galur Salmonella yang resisten (dimediasi plasmid) telah ditemukan dengan frekuensi yang terus bertambah di berbagai wilayah di dunia (Gilman et al., 2000). Perbedaan amoksisilin dari ampisilin, ialah bahan ini kurang efektif terhadap Shigellosis (Ganiswara, 2004), kebanyakan galur Shigella saat ini resisten (Gilman et al., 2000). Umumnya Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, Acinobacter dan Proteus indol positif resisten terhadap ampisilin dan aminopenisilin lainnya (Ganiswara, 1994), antibiotik ini kurang aktif melawan B. fragilis dibanding penisilin G (Gilman et al., 2000).
Amoksisilin lebih cepat dan sempurna terserap dari saluran gastrointestinal daripada ampisilin, dimana hal ini merupakan perbedaan besar diantara keduanya. Spektrum antimikrobial dari amoksisilin pada dasarnya identik dengan ampisilin (Gilman et al., 2000). Dosis yang direkomendasikan untuk unggas adalah 15-22 mg/kg melalui per oral (Plumb, 2002).
Jumlah amoksisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorpsi pada pemberian oral dipengaruhi oleh besarnya dosis serta ada tidaknya makanan di dalam saluran cerna. Pada dosis lebih kecil persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar (Ganiswara, 2004). Amoksisilin segera didifusikan dalam jaringan dan cairan tubuh, dengan pengecualian otak dan cairan spinal, kecuali saat keradangan meninges (Anonim, 2006). Plump (2002), menambahkan bahwasanya amoksisilin didistribusikan ke seluruh jaringan termasuk hati, paru-paru, otot, empedu, cairan fleral dan sinovial.
Konsentrasi puncak dari amoksisilin di dalam plasma adalah 1,5-2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ampisilin setelah penggunaan peroral dengan dosis yang sama, terdistribusi sampai ke plasma dalam 2 jam dengan kadar rata-rata 4 µg/ml saat digunakan per oral 250 mg. Makanan tidak mempengaruhi adsorpsi amoksisilin. Kemungkinan karena adsorpsi lebih komplit, kejadian diare karena amoksisilin lebih rendah dibanding penggunaan ampisilin (Gilman et al., 2000).
Amoksisilin biasa diberikan secara oral dengan dosis 0,5 g, biovailabilitas oral 65-78% dosis, kadar puncak plasma 6,75 mcg/ml, ikatan protein plasma 20% dan waktu paruh 60-90 menit (Ganiswara, 1994).
Ekskresi amoksisilin umumnya terjadi melalui proses sekresi di tubuli ginjal. Kegagalan fungsi ginjal sangat mempengaruhi ekskresi amoksisilin, yang antara lain tergambar pada perpanjangan masa paruh eliminasi amoksisilin dalam darah; contohnya masa paruh amoksisilin yang pada ginjal sehat sekitar 60 menit, memanjang menjadi 15 jam. Kumulasi amoksisilin umumnya tidak terjadi karena peningkatan biotransformasi di hepar (Ganiswara, 1994). Kira-kira 60% dari dosis peroral amoksisilin di ekskresikan dalam urine dalam 6-8 jam (Anonim, 2006). Chloramphenicol, macrolides, sulfonamides, and tetracyclines kemungkinan mengganggu efek bakterisidal dari amoksisilin. Hal ini telah diuji secara in vitro, namun kejadian klinis atas interaksi ini belum pernah dilaporkan (Anonim, 2006).
Kolistin
Polimiksin adalah antibiotik yang merusak fungsi membran sel bakteri (Carter dan Wise, 2004). Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan kolistin, saat ini hanya digunakan per oral atau topikal, jarang secara parenteral karena sangat nefrotoksit (Ganiswara, 1994). Golongan ini merupakan golongan kation basa (Brooks et al., 2005).
Kolistin (polimiksin E) diproduksi oleh Bacillus (Aerobacillus) colistinus, sebuah mikroorganisme yang diisolasi diperoleh dari sampel tanah dari Fukushima Prefecture, Jepang. Obat ini, merupakan kation detergen, relatif simpel, basik peptida dengan berat molekul 1000 dalton. Polimiksin memiliki struktur kimia seperti pada Gambar 2.
L-DAB-D-Phe-L-Leu
R-L-DAB-L-Thr-L-DAB-L-DAB L-Thr-L-DAB-L-DAB
Gambar 2. Struktur kimia Polimiksin
Keterangan: Polimiksin B1: R = (+)-6-methyloctanoyl, Polimiksin B2: R = 6-methylheptanoyl, DAB = α,γ-diaminobutyric acid
(Gilman et al., 2000)
Kolistin dalam penggunaan klinik dengan nama kolistin sulfat sebagai preparat peroral, dan colistimethate sodium sebagai preparat parenteral. Polimiksin B dan kolistin memiliki aktifitas antimikrobial yang hampir sama dan terbatas pada bakteri gram negatif, termasuk di dalamnya Enterobacter, Escherichia coli, Klebsiella, Salmonella, Pasteurella, Bordetella, dan Shigella, dimana biasanya bakteri-bakteri tersebut sensitif pada konsentrasi 0,05-2,0 μg/ml. Kebanyakan galur dari P. Aeruginosa dihambat dengan konsentrasi dibawah 8 μg/ml pada kondisi invitro (Gilman et al., 2000).
Kolistin adalah zat aktif permukaan, agen amphipathic (terkandung di dalamnya lipophilic dan lipophobic grup dalam molekulnya). Kolistin berinteraksi kuat dengan phospholipid dan penetrasi ke dalam dan merusak struktur membran sel. Permeabilitas membran sel dari bakteri berubah dengan cepat saat berinteraksi dengan kolistin (Gilman et al., 2000). Brooks et al. (1996), menambahkan bahwa kolistin mengikatkan diri pada selaput sel yang kaya akan fosfatidiletanolamin dan merusak fungsi transpor aktif selaput dan fungsi rintangan permeabilitas selaput.
Kolistin menghancurkan membran spesies bakteri gram negatif pada khususnya, mengakibatkan kehilangan kontrol osmotik, dimana menjadi penyebab kebocoran ion potasium dan komponen vital bakteri lainnya dan diakhiri kematian (Carter dan Wise, 2004). Kolistin mengikat bagian lipid A dari endotoksin (lipopolysaccharide dari membran terluar bakteri gram negatif) dan menonaktifkan molekul ini. Kolistin melemah akibat pathophysiologic dari pelepasan endotoksin pada beberapa percobaan (Gilman et al., 2000).
Kolistin praktis tidak diserap melalui mukosa atau kulit dengan luka bakar. Pada pemberian parenteral, obat ini dapat menembus membran saraf, tetapi tidak dapat mencapai cairan serebro spinal (CSS), cairan sendi dan jaringan-jaringan intra-okuler kecuali bila disuntikkan lokal (Ganiswara, 1994). Gilman et al. (2000), bependapat kolistin juga sedikit diabsorpsi dari membran mukosa dan permukaan dari luka bakar yang luas.
Kolistin kurang diabsorpsi dalam saluran usus dan menimbulkan nefrotoksik dan neurotoksik. Obat ini digunakan pada infusi intrauterin pada sapi dan untuk mengobati mastitis pada sapi dan infeksi serius lainnya yang disebabkan P. aeruginosa dan bakteri enteritis yang resisten terhadap obat lain. Dewasa ini, kolistin seringkali digunakan bersama antibiotik lain dalam preparat topikal (Gilman et al., 2000).
Kolistin adalah molekul yang lebar dimana sedikit berdifusi dalam media agar, karena itu menghasilkan zona hambatan kecil dalam tes sensitifitas dis. Pada Test tube dilusi kolistin menunjukkan sensitifitas tertinggi (Carter dan Wise, 2004). Kolistin diekskresikan melalui urin dan pada gagal ginjal, kumulasi terjadi dengan cepat (Ganiswara, 1994).
Karena toksisitasnya, penggunaan klinis kolistin dibatasi pada penggunaan topikal untuk infeksi bakteri gram negatif yang resisten, termasuk di dalamnya yang disebabkan oleh enterobacter dan Pseudomonas. Obat ini kadang-kadang digunakan untuk infeksi kapitas, contohnya kapitas sendi, pleural dan peritoneal (Trevor et al., 2003). Kadang-kadang kolistin diberikan per oral untuk menekan flora usus bakteri gram-negatif (Brooks et al., 1996).
Kolistin sulfat apabila diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, mempunyai efek samping yaitu toksisitas neurologi (paresthesias, dizziness, ataksia) dan nekrosis tubulus renalis akut (hematuria, proteinuria, nitrogen retention) (Trevor et al., 2003).
0 komentar:
Posting Komentar