Retensi Plasenta
Retensi plasenta adalah kejadian patologi dimana selaput fetus tidak keluar dari alat kelamin induknya dalam waktu 1–12 jam setelah kelahiran anaknya (Hardjopranjoto,1995).
Etiologi
Pada dasarnya retensi sekundinae atau retensi plasenta adalah kegagalan pelepasan villi kotiledon foetal dari kripta karankula maternal. Pada sapi, retensi plasenta dapat disebabkan beberapa faktor yaitu: (1) Gangguan mekanis (hanya 0,3% kasusnya), yaitu selaput fetus yang sudah terlepas dari dinding uterus, tetapi tidak dapat terlepas dan keluar dari alat kelamin karena masuk dalam kornu uteri yang tidak bunting, atau kanalis servikalis yang terlalu cepat menutup, sehingga selaput fetus terjepit (Hardjopranjoto,1995). (2) Induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah melahirkan. Ini disebabkan adanya atoni uteri pasca melahirkan (kasusnya 1–2%). Mungkin juga karena defisiensi hormon yang menstimulir kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperti oksitosin atau estrogen. Atoni uteri pasca melahirkan juga bisa disebabkan oleh berbagai penyakit seperti penimbunan cairan dalam selaput fetus, torsio uteri, kembar, distokia dan kondisi patologik lainnya (Toilehere, 1985), (3) gangguan pelepasan sekundinae yang berasal dari karankula induk. Ini adalah kasus yang paling sering terjadi dan dapat mencapai 98%, (4) Avitaminosa–A menyebabkan retensi plasenta, karena kemungkinan besar vitamin A perlu untuk mempertahankan kesehatan dan resistensi epitel uterus dan plasenta. Retensi plasenta terjadi pada 69% sapi dari suatu kelompok ternak yang diberikan makanan dengan kadar karoten yang rendah (Toilehere,1985)
Gejala
Gejala pertama yang tampak adalah adanya selaput fetus yang menggantung diluar alat kelamin (Hardjopranjoto,1995). Kadang–kadang selaput fetus tidak keluar melewati vulva tapi tetap menetap dalam uterus dan vagina. Pemeriksaan terhadap selaput fetus sebaiknya dilakukan sesudah partus untuk mengetahui apakah terjadi retensi atau tidak. Pemeriksaan melalui uterus dapat dilakukan dalam waktu 24–36 jam post partus. Sesudah 48 jam biasanya sulit atau tidak mungkin memasukkan tangan ke dalam uterus atau selaput fetus dalam servik. Adanya selaput fetus di dalam cervik cenderung menghambat kontraksi servik (Toelihere,1985).
Sekitar 75–80% sapi dengan retensi sekundinae tidak menunjukkan tanda–tanda sakit. Sekitar 20-25% memperlihatkan gejala–gejala metritis seperti anorexia, depresi, suhu badan tinggi, pulsus meningkat dan berat badan turun (Toelihere,1985).
Prognosa
Pada kasus tanpa komplikasi, angka kematian sangat sedikit dan tidak melebihi 1-2%. Apabila ditangani dengan baik dan cepat, maka kesuburan sapi yang bersangkutan tidak terganggu. Pada kasus retensi ini kerugian peternak bersifat ekonomis karena produksi susu yang menurun, kelambatan involusi dan konsepsi (Toelihere,1985).
Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasarkan adanya sekundinae yang keluar dari alat kelamin. Bila sekundinae hanya tinggal sedikit dalam alat kelamin, diagnosa dapat dilakukan dengan eksplorasi vaginal memakai tangan dan dengan terabanya sisa sekundinae atau kotiledon yang masih teraba licin karena masih terbungkus oleh selaput fetus. Karunkula yang sudah terbebas dari lapisan sekundinae, akan teraba seperti beludru. Kalau tidak ada sekundinae yang menggantung diluar kelamin, jangan dikatakan tidak ada retensi sekundinarium. Mungkin sekundinae masih tersisa dan tersembunyi didalam rongga uterus (Hardjopranjoto,1995).
Terapi
Pengobatan terhadap retensi sekundinae sangat tergantung kepada sebab–sebabnya dan ada tidaknya gejala peradangan. Pertolongan terhadap retensi sekundinarium ditujukan pada pengeluaran sekundinae dari alat kelamin secepat-cepatnya dan diupayakan agar kesuburan induk penderita tetap baik (Hardjopranjoto,1995).
0 komentar:
Posting Komentar